[caption id="attachment_350337" align="aligncenter" width="434" caption="sumber gambar : http://pendidikansatsa.blogspot.com"][/caption]
Buku jendela dunia, sebab karena buku dunia tersibak, memuculkan cerah dan luasnya samudera pengetahuan. Betapa bersahaja dan bersemangatnya saya dulu kala bocah, ketika buku paket Sekolah Dasar saya memunculkan sampul bergambar anak gembala bertopi caping santai membaca buku di atas kerbaunya. Saya harus pintar, sekolah setinggi mungkin, agar kelak dapat membahagiakan orang tuaku, dengan menjadi dokter. Demikian cita-citaku saat itu yang kenyataannya tidak kesampaian. Alih-alih jadi dokter, dukun pun tidak.
Buku bersampul gembala itu, dulu saya pinjam dari sepupu saya yang kelasnya setingkat di atasku. Orang tuaku tidak membelinya, karena uang untuk makan bisa dihemat dengan meminjam buku kakak kelas. Kini zaman telah berubah, dimana pendidikan sudah dijamin oleh negara. Pendidikan gratis sudah menjadi program, termasuk di kota ku, Bantaeng. Kota kecil yang berjarak 120 km dari Makassar.
Baru-baru ini muncul permasalahan yang menghebohkan kami, para orang tua murid. Buntut masalahnya, karena adanya protes orang tua murid yang mencuat ke media lokal terkenal. Pihak sekolah pun kelabakan, tidak terima. Mereka pun mengundang kami para orang tua murid untuk mengklarifikasi soal itu, di senin siang (9/2). Saya datang walau agak sibuk, karena si bungsu cerewet memaksaku untuk hadir.
Berulang-ulang, sang ibu Kepala Sekolah bersumpah, “Saya tidak korupsi!, saya siap mundur hari ini kalau memang saya korupsi” katanya emosional saat memberi sambutan dan menjawab pertanyaan orang tua murid yang hadir pada pertemuan siang itu.
Komite sekolah memang mengundang kami, para orang tua murid. Pemberitaan salah satu media yang menyoal pembelian buku yang dibebankan kepada orang tua murid di salah satu SD unggulan di kota kecil kami, menjadi dasar undangan tersebut. Pemberitaan itu mengutip pernyataan salah seorang orang tua murid yang mempertanyakan boleh tidaknya anak didik membeli buku di era pendidikan gratis saat ini.
Menurutnya, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sudah mencakup pengadaan buku paket. Belum lagi, terdapat program pendidikan gratis dari Gubernur dan Bupati yang dapat memberi ruang pembiayaan untuk sekolah untuk mengadakan buku-buku tersebut. Sebagian dari para orang tua memang terlihat tidak sepakat jikalau beban pengadaan buku dibebankan kemereka, bukan hanya karena persoalan biaya, tetapi juga karena sulitnya mendapatkan buku itu.
Saya pernah mencari ke beberapa toko buku di Makassar sesuai rekomendasi judul buku dari ibu guru. Sulitnya menjengkelkan, karena disiang yang terik saat itu macet mengepung kota Makassar. Walau akhirnya buku tersebut berhasil saya dapatkan, saya tetap bersungut karena menganggap bahwa sudah seharusnya buku tidak sulit didapatkan di era seperti saat ini. Rasanya lebih baik sekolah yang menjual ke kami dari pada merekomendasikan penerbit yang bukunya langka saat itu.
Kembali ke pertemuan membosankan siang itu, Ibu kepala sekolah berdalih bahwa dana BOS hanya menanggung 5% pengadaan buku. Itupun untuk pengadaan buku paket. “Buku yang dibeli murid bukan buku paket, tetapi buku penunjang, tidak dipaksakan” kata, Beliau.
Buku penunjang memang adalah buku yang tidak dipaksakan untuk dibeli. Buku itu hanya buku pendukung untuk peningkatan prestasi anak didik, pembeliannya tidak diwajibkan. Benar juga kata kepala sekolah, sebab memang pihak sekolah tidak pernah memaksakan (langsung) pembelian buku itu ke orang tua murid.
“memang betul guru tidak pernah memaksa orang tua membeli buku, tetapi anak-anak kita yang justru memaksa ibu-bapaknya membelikannya, sampai mengacam tidak akan pergi sekolah” ungkap salah seorang orang tua murid di pertemuan itu. Siapa sih, orang tua yang tahan mendengar anak merengek sampai ingusnya meleleh itu minta dibelikan buku.
Modus lain yang membuat buku penunjang yang tidak “dipaksakan” ini seolah menjadi wajib dibeli sebab Pekerjaan Rumah (PR) anak-anak tercantum pada halaman buku itu. Tanpa buku, anak-anak sudah pasti sulit mengerjakan PR. Salah seorang orang tua murid menceritakan pengalamannya di pertemuan itu, bahwa pernah Ia harus mengantar anak ke rumah temannya malam-malam untuk kerjakan PR, karena si Bapak sulit mendapatkan buku itu untuk anaknya. Karena lamanya si anak kerjakan PR, si Bapak harus tertidur di mobil menunggu kesayangannya selesai dengan tugasnya.
“Kami, tidak menyoal dengan biaya pendidikan karena bahkan sawah pun bisa melayang untuk kebutuhan pendidikan anak-anak kami. Menjadi soal jikalau pihak sekolah tidak transparan untuk memberi tahukan langsung kepada kami sesuatu yang hendak dibeli itu”, kata salah seorang peserta protes dengan cara sekolah terkait pembelian buku penunjang ini. Menurutnya, pembelian buku jangan disampaikan ke murid, tetapi kepada orang tua agar kesalah pahaman terhindari.
Sempat ketika suasana menjadi panas dan cenderung membosankan, saya mengacungkan tangan untuk berpendapat, tetapi tidak sempat karena pertanyaan saya sudah sebagian terwakili penanya sebelumnya, lagian waktu sudah menujukkan jam lapar, dan peserta banyak yang keluar ruangan, tak balik lagi. Saya sebenarnya hanya mau menyoal jawaban pihak sekolah yang cenderung berputar-putar, melebar dan agak bertele-tele. Klarifikasi yang saya inginkan tidak memuaskan dan solusi hampir kabur, walau pihak sekolah kelihatannya berusaha memuaskan kami.
Pihak sekolah menurutku hanya sibuk membela diri, sambil mencoba menutupi celah yang ada dengan mewartakan ke peserta tentang prestasi sekolah. Kami paham itu, karena itu anak kami di dimasukkan di sekolah favorit ini. Masalahnya, pembelian buku itulah yang kemudian mencederai kecemerlangan sekolah, hanya karena buku penunjang yang harganya mampulah kami beli.
Bagi saya, wajarlah jikalau diperlukan buku penunjang untuk peningkatan prestasi anak didik. Orang tua murid yang saya lihat rata-rata adalah orang “berada” dan sebagian adalah pejabat itu, tidaklah mungkin mempermasalahkan buku yang harganya puluhan ribu. Persoalannya pada kurangnya transparansi, cara menyampaikan pada anak didik buka pada orang tua, serta adanya kecurigaan-kecurigaan lain-lain yang belum terbukti sebagaimana dipertanyakan beberapa peserta rapat, semoga tidak.
Saya sangat mencintai sekolah anak saya itu. Sangat bersejarah bagiku, karena istri bahkan mertuaku mengecap pendidikan dasar di tempat itu. Andai kata pihak sekolah tidak mengundang kami, saya tidak pernah tahu bahwa masalah buku ini mencuat di media, inilah pentingnya transparansi. Apa pun itu, sebenarnya kami akan beli, jikalau itu dibolehkan demi anak-anak kami tercinta agar menjadi pintar. Pendidikan bagi saya sangatlah penting, karena kebodohan saya saat ini, salah satunya sebab pendidikan yang tidak berlanjut.
Sumber Gambar : pendidikansatsa.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H