Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | VIJF

Diperbarui: 13 Desember 2016   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

VIJF

By: andigrow

Vijf. Lima. Angka yang mempertemukan dan memisahkan kita. Angka yang membuatku bahagia dan bersedih di satu masa. Aku masih mendengar suara Glenn Fredly melantunkan lagu itu dari laptopku. Berulang-ulang, sudah lima kali kukira. Ya, hanya ini yang menjadi penyemangat hidupku saat ini. Perpisahan mendadak setelah pertemuan singkat.

“ Tuhan bila masih kudiberi kesempatan. Izinkan aku untuk mencintanya. Namun bila waktuku telah habis dengannya, biar cinta...”

Kali ini aku ikut bernyanyi, mencoba meresapi setiap kata dalam bait itu, juga mencoba mengatakan pada diriku, pada jiwaku bahwa dia telah pergi. Pergi untuk selamanya . Dia Chika, seorang cewek pecinta alam yang telah menjadi sahabat hatiku lima bulan ini. Dan aku, Andhika. Orang-orang memanggilku Dhika. Hanya Chika yang memanggilku And, dia pikir Dhika lebih terdengar seperti nama seorang cewek. Pikiranku menerawang, mencoba mengurai kembali memori indah saat pertama kali bertemu dengannya. Dia itu bisa dibilang sahabat masa kecilku, aku pertama kali bertemu dengannya di suatu kursus menggambar saat kami baru kelas lima sekolah dasar. Aku tak terlalu pintar menggambar, tapi aku bercita-cita menjadi seorang Arsitek, oleh sebab itu aku mengikuti kursus ini. Aku tak begitu mengenalnya, tetapi sejak pertama kali bertemu, aku tertarik padanya. Mungkin karena dia satu-satunya cewek yang mengikuti kursus ini, tak lebih dari itu. Kalau dilihat dari wajahnya, dia pasti tipe cewek yang usil plus slengekan. Dan tebakanku benar. Menjadi satu-satunya cewek di kelas itu, dia bukannya jadi pendiam tapi malah sok jadi tuan puteri yang ingin dihormati dan dihargai. Dia mengungkapkan hal-hal yang tidak penting saat guru kami menerangkan bagaimana cara menggambar tubuh manusia, Dan masih banyak lagi sederet keanehan-keanehannya. Masa kursus kami berakhir. Kami akhirnya berpisah. Setelah itu aku tak pernah melihatnya lagi selama lima tahun.

Lima tahun setelahnya, saat mengikuti pendaftaran di SMA Pelita Harapan, aku melihatnya. Aku melihat dia berdiri diantara kerumunan siswa yang mengantri di loket pendaftaran. Dia sangat terlihat berbeda. Lebih tinggi, lebih cantik, lebih terlihat seperti seorang cewek yang sedang melewati masa pubertas dibanding cewek ingusan yang kutemui lima tahun lalu. Aku senang bisa bertemu dengannya, meski mungkin dia sudah tak mengenaliku. Tiba-tiba dia menoleh, kulemparkan senyum tipisku. Dan reaksinya sungguh mengejutkan, dia membalasku dengan ekspresi seolah-olah mengatakan “ siapa kau?”. Wah ternyata dia sudah lupa padaku.

Sebulan kemudian kami dinyatakan lulus kriteria menjadi murid SMA Pelita Harapan. Dan secara kebetulan kami ditempatkan di kelas yang sama yaitu kelas Sepuluh B.

“ Heiii, kamu yang ikut kursus menggambar, namamu Andhika kan?” suara itu mengejutkanku. Aku menoleh,

“ Ya ada apa? Ku kira kau sudah tak mengenaliku!” jawabku ketus

“ Hahaha,, awalnya memang seperti itu, tapi aku masih cukup hafal wajahmu. Aku hanya terkejut, ternyata kau bisa kurus juga ya..”

“ Eh, apa maksudmu?’ ternyata sifat usil plus slengekan belum hilang juga ya ckckck,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline