Hannah Arendt, seorang ahli teori politik, menciptakan ungkapan "banalitas kejahatan" ketika dia menyusun bukunya setelah menyaksikan persidangan perwira Nazi SS Adolf Eichmann pada tahun 1961. Bagi Eichmann, pembunuhan massal terhadap narapidana hanyalah tindakan biasa karena dia hanya mengikuti perintah.
Kata "banalitas kejahatan" muncul di benak saya saat saya sedang mencari istilah yang paling tepat untuk digunakan dalam kaitannya dengan adegan berdarah dan kekerasan yang kini biasa kita lihat dalam film ataupun serial aksi/thriller di platform streaming yang pernah saya tonton di rumah.
Izinkan saya mengutip tiga judul yang sangat populer yang dilihat oleh jutaan orang di seluruh dunia yaitu Squid Game, Alice in Borderland dan John Wick . Saya sudah menonton semuanya. Keluarga saya seorangpun tidak saya ijinkan menonton adegan kekerasan dan berdarah-darah yang terus-menerus disajikan dalam filem tersebut.
Mungkin saya adalah mikrokosmos dari dunia pemirsa saat ini yang mendapatkan sensasi dan kesenangan dari pembantaian, rangkaian aksi berdarah yang dikoreografikan tanpa henti. Kadang, beberapa dari kita begitu terbawa suasana hingga melontarkan kata-kata umpatan, mendesak tokoh protagonis untuk terus menghajar penjahat hingga babak belur atau menembakkan lebih banyak peluru sesuai kasusnya.
Ada suatu saat ketika adegan yang sangat kejam diberi peringkat X, sama seperti film dengan adegan seksual. Ingatlah saat Exorcist ditayangkan dan penonton bioskop dikatakan pingsan atau keluar dari bioskop karena tidak tahan dengan adegan yang dikatakan terlalu mengerikan.
Di tengah kemajuan pesat dalam bidang prostetik dan teknologi CGI, adegan kekerasan dan hal mengerikan kini ditampilkan dengan sangat realistis dalam definisi tinggi tapi masyarakat tidak lagi berpaling ketika ada wajah yang dipukul berkali-kali atau ada pisau yang ditancapkan di kepala, mata, selangkangan atau telinga tokoh dalam filem. Adegan kadang berlangsung lama, namun orang-orang terus menonton.
Saya menyebutnya kekerasan frontal. Setiap sutradara berusaha untuk melampaui batasan kekerasan dan adegan berdarah agar penonton memuji semua itu.
Saat ini semakin banyak tokoh utama perempuan yang membawa senjata pembunuh dan tanpa ragu-ragu atau menyesal dalam melukai, menembak atau menggorok semua tokoh antagonis yang menghalangi mereka.
Bahkan bahasa film sengaja dibuat kasar dan penuh makian. Mungkin semakin kasar dialognya, semakin banyak orang yang menyukainya. Begitu banyak bahasa kebencian, begitu banyak omelan kekerasan, begitu banyak kata-kata kotor yang dilontarkan bagaikan peluru yang ditujukan untuk melubangi kepala musuh. Seolah-olah bahasa kekerasan kini menjadi lingua franca yang tepat dalam berhubungan dengan sesama manusia.
Masyarakat kita sedang dipengaruhi atau lebih buruk lagi dirusak dengan menjadikan kekerasan berlebihan sebagai rutinitas.
Cara kekerasan adalah solusi perbaikan cepat dengan bahasa standar," bunuh bajingan itu dan masalahnya terpecahkan".