Lihat ke Halaman Asli

ANDI FIRMANSYAH

Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Dunia Dalam Canda

Diperbarui: 23 April 2024   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Ada yang bilang," Tuhan pasti mempunyai selera humor yang luar biasa karena Dia menciptakan manusia."

Dengan semua yang telah kita lihat mengenai umat manusia sejauh ini, sepertinya ada benarnya. Bayangkan! siklus perang tanpa akhir yang disebabkan oleh manusia yang memusnahkan jutaan orang, yang berakhir dengan gencatan senjata yang hanya menyebabkan perang dikemudian hari. Ketika persediaan pangan dunia semakin berkurang, kita melihat lahan pertanian dan hutan dirusak tanpa berpikir panjang demi kemajuan.

Alexandre Kojeve, seorang penulis, mengatakan: "Kehidupan manusia adalah sebuah komedi, seseorang harus memainkannya dengan serius." Mungkin istilah "memainkannya" berarti memikirkan secara serius mengapa hidup itu komedi.

Orang bijak dan utusan ilahi yang kita hormati tampaknya terlalu serius. Zoroaster, Buddha, Konfusius, Lao Tse, Yesus, Muhammad. Apakah di antara mereka ada yang punya selera humor? Apakah mereka sesekali menikmati satu atau dua lelucon ketika mereka bersama para pengikutnya?

Kekhidmatan dianggap sebagai ciri kebijaksanaan. Sebab kehidupan ini terlalu rumit untuk dilukiskan hanya dalam nuansa malapetaka dan kesuraman. Tertawa tentu menjadi cara yang efektif untuk menyampaikan kata-kata bijak yang lebih bernas.

Ada serangkaian 90 novel karya Honor de Balzac, yang dalam bahasa Prancis aslinya dikenal sebagai La Comdie humaine atau "Komedi Manusia". Diterbitkan pada tahun 1800-an, novel-novel tersebut menggambarkan lebih dari 2.000 karakter masyarakat Paris pada masa itu yang berfungsi sebagai optik umat manusia dengan segala kebodohannya di mana ego individu tampaknya telah menjadi satu-satunya ukuran segala sesuatu.

Saat Anda membaca karakter Balzac dalam novel tersebut, Anda pasti akan mengatakan "itu saya!" Kita akhirnya menertawakan diri kita sendiri.

Seiring berlalunya waktu, saya semakin yakin bahwa komedi lebih nyata dalam kehidupan daripada tragedi, tidak hanya di atas panggung tetapi dalam semua bentuk seni naratif. Bahkan, dalam drama tragis pun, saya menemukan unsur komikal dalam penggambaran kebodohan manusia.

Kunci menuju kehidupan yang lebih memuaskan adalah ketidakterikatan. Buddha benar ketika beliau mengatakan bahwa penderitaan disebabkan oleh terlalu banyak keterikatan, obsesi mengejar sesuatu dan cita-cita mustahil yang hanya mempersulit hidup kita.

Untuk mendapatkan perspektif terpisah tersebut, kita perlu memperkecil tampilannya sedikit lebih jauh dari pandangan yang ada di depan kita. Hal ini memungkinkan kita untuk mengatasi kebodohan dan absurditas kita sendiri dengan lebih baik.

Memang benar, pelepasan emosi memungkinkan kita melihat kehidupan dari sudut pandang yang lebih tinggi dari biasanya dan melihatnya secara obyektif daripada dari sudut pandang sempit yang berfokus pada diri sendiri, maka "komedi lebih bijaksana daripada tragedi," seperti yang dikatakan oleh beberapa orang bijak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline