Lihat ke Halaman Asli

ANDI FIRMANSYAH

Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Sisi Lain Diri Kita

Diperbarui: 22 April 2024   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika tiba-tiba dihadapkan pada sesuatu atau tindakan yang mengejutkan, menyinggung atau membuat kita marah, banyak di antara kita yang secara impulsif melontarkan kata-kata makian. Kemudian, tentu saja, kita segera mundur dan mencoba menenangkan diri, menggumamkan alasan-alasan atas kesalahan yang memalukan itu kepada siapa pun di sekitar yang telah mendengarkan kita.

Hal ini pernah terjadi pada seorang pembimbing spiritual yang dihormati, secara diam-diam membuat saya merasa malu karena beberapa orang, termasuk wanita, ada di sana.

Apakah kejadian itu menghilangkan rasa hormatku padanya? Belum tentu. Bagi saya, hal itu tidak mengherankan atau mengagetkan. Paling tidak timbul rasa percaya diri. Ternyata beliau sama saja sepertiku.

Saya juga ingat seorang eksekutif tampan yang secara verbal mengolok-olok karyawannya yang gay. Suatu saat, ketika dia sedang memberikan pengarahan, tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dan secara refleks menutup mulutnya ketika dia secara tidak sengaja menjatuhkan ponselnya. Semua orang membeku di kursi mereka masing-masing.

Seperti kata orang bijak, ketika Anda menuding seseorang, ingatlah selalu bahwa tiga jari Anda yang lain mengarah ke Anda. Jadi berhati-hatilah. Tuduhan lahiriah Anda bisa jadi merupakan pengakuan diri. Lebih sering itu adalah defleksi, yang dirancang untuk menutupi dan mengalihkan perhatian orang lain agar tidak melihat ke arah Anda. Semakin keras dan nyaring, semakin mencurigakan.

Begitulah cara kita mengungkapkan diri kita yang manusiawi dan tidak sempurna. Ketika terkejut, marah atau ketakutan, maka seruan naluriah kita hanya menyingkap sisi lain dari diri kita. Sisi gelap kita yang tersembunyi. Para psikolog menyebutnya "Bayangan Diri" atau Shadows Self.

Istilah Shadows Self pertama kali dikonsep oleh Carl Jung, salah satu pilar psikologi modern pada pertengahan tahun 1900-an.

Bagi Jung,  kepribadian yang utuh  terdiri dari kualitas-kualitas positif dan negatif dalam diri setiap individu, namun hanya kualitas-kualitas yang tampaknya diinginkan dan menarik saja yang diungkapkan dalam apa yang disebutnya "pribadi", yang merupakan topeng sosial yang kita kenakan setiap hari.

Seringkali, katanya, kita menekan pikiran dan perasaan yang dianggap negatif atau tidak menarik atau bahkan berbahaya.

Ketika kita bertumbuh dan menjadi lebih sekuler dalam pandangan hidup, kita tidak lagi melihat perlunya atau pentingnya mengaku. Kita sering mengabaikannya dan berusaha menyembunyikannya. Bahkan sekarang, sebagian dari kita masih menolak untuk percaya bahwa semua itu adalah bagian dari diri kita. Namun, di saat-saat yang tidak terduga, semua itu menampakkan diri, yang mengejutkan orang-orang yang mengenal kita dan membuat kita malu. Apapun yang terjadi, Shadows Self selalu ada di sana.

Kalau dipikir-pikir, berhenti mengakui aspek gelap dari bayangan diri kita mungkin adalah sebuah kesalahan. Karena menurut saya, mengakui atau membicarakan hasrat gelap kita akan memiliki efek yang bermanfaat, secara psikologis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline