Lihat ke Halaman Asli

ANDI FIRMANSYAH

Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Kita Perlu Mendirikan Bank Makanan

Diperbarui: 10 Maret 2024   18:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu kali, ketika saya sedang makan siang di sebuah warung, seorang pria diam-diam duduk dan berlama-lama di di samping saya. Saya melirik ke arahnya dan saya lihat dia sedang memperhatikan dengan penuh perhatian apa yang sedang saya makan. Dia tampil rapi. Tidak berantakan untuk menunjukkan mungkin dia seorang gelandangan.

Saya tahu apa yang dia inginkan. Jadi saya bergegas menyelesaikan makanan saya. Lalu begitu saya berdiri untuk pergi, saya bisa merasakan dia tegang, siap menerkam mangsanya. Potongan empal sapi dan nasi campur yang sengaja saya tinggalkan untuknya.

Setelah saya membayar makanan, saya menoleh ke belakang saat dia sedang meluncur ke posisi dimana saya duduk awalnya. Lantas dia makan dengan penuh semangat. Memegang sendok yang baru saja saya gunakan dan dengan santai menaburkan sambal di atas makanannya. Saya memperhatikannya sebentar, senang dia menyukai apa yang saya pilih dari menu hari itu.

Pernahkah Anda melihat serigala atau hyena, hewan pemakan bangkai di hutan belantara Afrika yang melahap bangkai hewan sisa predator lainnya? Itulah gambarannya saat itu.

Lalu ada cerita yang diceritakan teman saya kepada saya beberapa waktu lalu. Dia biasanya mengumpulkan sisa makanan dan meninggalkannya di luar gerbang rumahnya untuk kucing-kucing liar yang ada di kompleks mereka.

Kemudian pada suatu malam, seperti biasa, saat dia hendak meletakkan wadah plastik yang berisi sisa makanan, tiba-tiba entah dari mana, seorang lelaki tak terawat bergegas merampas sisa makanan tersebut, mendahului kucing-kucing itu. Dia tersenyum tipis pada teman saya seolah mengucapkan terima kasih lalu menyelinap kembali ke istri dan anaknya yang menunggu di gubuk mereka.

Saat itulah ia mengetahui bahwa ada pemulung tunawisma yang berhasil bertahan hidup di kompleks tersebut.

Di Tiongkok kuno dan bahkan di kalangan Tionghoa masa kini, ketika mereka bertemu dengan seorang kenalan atau tetangga di gang, mereka tidak mengucapkan "apa kabar?" Sebaliknya sapaan standar mereka adalah ni chi le ma yang diterjemahkan sebagai "apa kamu sudah makan?" Hal ini tidak serta merta dianggap sebagai ajakan untuk makan bersama.

Jadi apa sebenarnya maksud dari sapaan sehari-hari ini? Dari manakah ungkapan itu berasal?

Cheuk Kwan, seorang pembuat film dokumenter, menulis buku berjudul "Apakah kamu sudah makan?" Menurutnya "karena perang, kelaparan dan kemiskinan, orang-orang di Tiongkok kuno tidak selalu mempunyai cukup makanan. Mungkin itulah sebabnya kata-kata ini menjadi ungkapan kepedulian terhadap kesejahteraan seseorang." Tidak heran dalam budaya tradisional Tiongkok, makanan sangat dianggap sebagai hal yang paling penting. Sebuah pepatah Tiongkok kuno mengatakan, "Orang biasa menganggap makanan sebagai surga."

Ingatkah orang tua kita yang biasa memaksa kita memakan sisa makanan terakhir di piring kita? Jika tidak, Anda tidak akan diizinkan meninggalkan meja sampai Anda menghabiskan semua yang ada di piring Anda. Ambil hanya apa yang sanggup Anda selesaikan. Pernyataan orang tua kita yang biasa mereka sampaikan adalah bahwa orang-orang di Afrika bahkan tidak mempunyai makanan untuk dimakan, jadi bersyukurlah ada makanan di atas meja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline