Dalam politik, kekuasaan yang cepat melambung cepat juga menghujamnya. Ditambah lagi jika Founding Leader nya terlalu super power sehingga tidak bisa ditandingi oleh pemimpin manapun sesudahnya.
Dalam kebangkitan Islam ada seorang sosok super power yang meskipun diantara beliau dikelilingi oleh para pemimpin hebat namun tidak satupun yang mampu menyamai kehebatan beliau. Beliau adalah Nabi Muhammad Saw.
Dalam sejarah lain kita juga mengenal Alexander the Great, Jengis Khan dan Charlemagne. Begitu mereka wafat, mulailah masing-masing daerah kekuasaan mereka satu persatu memisahkan diri.
Itu pula yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah. Beragam konflik yang terjadi sesudahnya berawal dari kepergian Rasulullah untuk selamanya. Sebab institusi yang diwariskan oleh Rasulullah Saw ternyata belum matang.
Berawal dari kasus pembunuhan Umar Bin Khatab. Setelah itu naiklah Usman bin Affan. Mulai dari sini Islam berkembang pesat. Saat dirasa kekuasaan sudah mulai meluas, Usman bin Affan mulai berfikir untuk merubah sistem karena sistem yang lama mungkin tidak cukup mumpuni untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mulai kompleks.
Jadi Usman bin Affan menganggap beliau harus berdiri tidak lagi sebatas pemimpin umat tetapi harus menjadi pemimpin yang full pledge supremo. Paling tidak setaraflah dengan kaisar Bizantium dan Sassania.
Untuk itu perlu yang namanya Reformasi. Agar tercapai kematangan sebuah kekuasaan sebagai warisan dari Rasulullah Saw.
Hanya jika belajar dari sejarah sebuah imperium dalam membangun kekuasaan apalagi yang berkaitan dengan reformasi maka butuh konsistensi yang tak jarang mengkhianati para Founding Fathers nya sendiri.
Kita ambil contoh Amerika serikat. Sistem yang dibangun sekarang ini tentunya beda dari apa yang sebenarnya dicita-citakan oleh para Founding Fathers terdahulu. Misalnya, dulu presiden boleh berkuasa sampai akhir hayat. Sekarang masa kekuasaan Presiden dibatasi hanya dua periode saja.
Jadi Amerika serikat saja yang boleh dibilang identitas dan institusi nya sudah mekar dan matang saja merasa masih perlu yang namanya Reformasi. Apalagi kekuasaan yang dibangun oleh Usman bin Affan sebagai warisan yang belum matang tentu harus lebih banyak lagi reformasi yang harus dilakukan.
Hanya saja saat Khalifah Utsman bin Affan yang merasa dirinya berdiri sebagai Imperium Supremo tapi umat menganggapnya masih pemimpin umat sama seperti Khalifah yang lain. Sehingga jelas ada krisis institusional dalam hal ini.