(Salah satu cerpen dalam Andromeda@nulisbuku.com)
Aruna, salah seorang anggota Cakrabirawa, melintasi gerbang utama menuju Mayangpada diantara deretan hamparan rumput laut berbau amis yang menyengat hidung.Bau yang mencengkram sampai ke tenggorokannya itu membuatnya hendak muntah. Aturan yang berlaku di Kesatuan Cakrabirawa memaksanya membuat Peta Tujuannya sebelum tiba sementara dia sendiri tidak siap dengan semua itu ditambah bau menyengat menusuk hidung membuat rasa ingin muntahnya semakin menjadi-jadi sampai ke ubun-ubun. Walau akhirnya dia muntah juga. Rasa sesak yang mungkin tak tertahankan membuatnya harus memuntahkan segala isi perutnya diatas lintasan kereta anginnya. Untunglah tidak ada yang melihat semua kejadian itu.
Saat ototnya tak kuat lagi menahan berat tulang-belulang yang menyanggah tubuhnya, akhirnya dia jatuh juga tersungkur tak berdaya. Tak perduli lagi pada endapan embun malam yang mulai merayapi tengkuknya yang polos tanpa penutup apapun. Dia coba untuk menarik sebuah sapu tangan dari saku celananya untuk menghapus sedikit sisa muntahan sembari mengumpat habis-habisan akan kesialan yang dihadapinya malam ini. Nafastiti, kucing kesayangannya, berlari kian kemari mengelilingi dirinya bagaikan amukan badai yang tak berhenti terus bolak – balik seperti menyadari apa yang terjadi pada tuannya. Aruna mengerenyit sebentar saat kucing itu melompat dan jatuh tepat diatas perut perihnya. Dengan cepat kucing itu direngkuhnya kemudian membelai bulu indahnya untuk sekedar menenangkannya.
Kamu sakit? Nafastiti mengirimkan sinyal telepati ke pikiran Aruna lewat tatap matanya yang menyelidik.
“Tenang, sayang.” Kembali tangan Aruna mengusap kepala Nafastiti sambil kembali berujar
“ Aku cuma ga tahan dengan bau amis rumput laut itu.”
Nafastiti mengerenyut kan hidungnya.
Aruna kembali mengingat-ingat akan kegagalannya malam ini dan mencoba untuk menenangkan diri dengan mengambil sebuah permen mint dari balik kantong celananya, mengunyah sebentar dan sesuatu yang terasa dingin dan menyejukkan menerpa batang dalam hidungnya yang sungguh dia nikmati sekali dengan menarik nafas dalam – dalam.
“Lain kali aku harus benar-benar mempersiapkan diri sebelum ke tempat ini,” janjinya dalam hati.
Aruna mencoba berdiri dengan kedua kakinya. Nafastiti beringsut naik ke pundaknya untuk menemukan tempat yang nyaman berlindung di balik rambut hitam panjang milik Aruna.
Gerbang utama adalah salah satu rangkaian gerbang yang menghubungkan antara satu daerah dengan daerah lain dalam kawasan Manggala yang terbentang diantara sepasang batu yang berdiri tegak memanjang menuju ke arah utara Mayangpada. Aruna memandang ke bawah, tepat di bawah jembatan terlihat jelas deretan rumah – rumah di pinggiran laut. Sebersit cahaya memancar jelas dari ufuk timur menandakan sang mentari sebentar lagi akan bertahta menggantikan sang malam. Jauh disana, diantara deretan rumah – rumah pinggir laut yang saling merapat, berdiri sebuah kedai minum tuak dimana Sang Penghubung sedang menantinya. Ini misi biasa. Rutinitas yang selalu diembannya dari seorang Baruna Mataslawang, pemimpin Kesatuan Chakrabirawa, sekaligus teman lamanya. Tugas yang harus diemban Arun adalah mendapatkan letak lokasi kota yang terkontaminasi wabah, mengambil sampel darah untuk diteliti dan membawanya ke markas di Benggala. Aruna sudah sangat terlatih untuk mengemban tugas-tugas seperti itu. Dia memeriksa sekali lagi peralatan-peralatan tempur yang biasa dibawanya sebelum melangkah lebih jauh menuju Mayangpada.
Jalanan di Mayangpada terlihat ramai sekali. Kebanyakan toko-toko yang berdiri berjejer tersebut menjual tuak khas Mayangpada yang terkenal seantero Manggala. Aruna sangat mengenal sekali daerah ini. Dia juga tahu persis dimana letak kedai minum tuak tersebut.
Pelanggannya kebanyakan adalah para nelayan yang kebetulan berlayar sampai ke Mayangpada atau anak buah kapal yang kebetulan singgah di tempat tersebut. Aruna meringankan langkahnya menuju Bar, melewati deretan meja-meja yang dipenuhi pelanggan, dimana rencananya dia akan bertemu dengan kaki tangannya, duduk dengan santai saat salah seorang pelayan wanita datang menghampirinya.
“Mau minum apa, Mas?”tanyanya.
Aruna mengeluarkan dua lembar uang kertas dan meletakkannya diatas meja Bar.
“Segelas besar tuak, yang manis.”
Saat menunggu datangnya pesanan, Aruna mulai mengamati para pengunjung kedai tuak tersebut. Lelaki yang berkumis tebal, tampak wajahnya sangat murung sekali sambil menatap dalam setengah gelas besar tuak berwarna agak kecoklatan. Kalau melihat sapu tangan merah yang terselip diantara kerah bajunya, terlihat tak biasa. Mungkin ini tanda, pikir Aruna. Maka dengan langkah santai, Aruna mencoba mendekati meja lelaki tersebut.
“Chakrabirawa?”tanyanya saat Aruna duduk dihadapannya.
Aruna mengangguk.
“Taruna, Sandi apa Perwira?”
“Sandi.”
“Mana simbol?”
“Gak punya. Hanya Perwira yang punya simbol,”Aruna berbohong lagi.Lelaki itu menelan ludah dan menarik sapu tangan dari balik kerahnya.
“Jadi, kapan kira-kira kita bisa berangkat?”orang itu merenung. Taruna lokal tersebut sudah berjanji padanya untuk menyelundupkannya ke daerah yang terserang wabah yang saat ini dalam status daerah terlarang.
Tiga orang lelaki kemudian mendekati mereka. Lelaki kumis tebal kemudian berdiri dari duduknya dan membisikkan sesuatu kepada salah seorang dari mereka yang berkepala plontos dan menentang pedang tebal di pinggangnya.
“Kami yang menentukan kapan anda bisa berangkat,”kata si botak. Si botak kemudian melirik si kumis tebal, yang dilirik kemudian bergumam
“Maaf, maafkan aku, aku gak punya pilihan, istriku…” terus seperti itu.
Aruna meletakkan kedua belah tangannya di atas meja.
“Gimana?ada masalah ya?”tanyanya dengan suara perlahan.
“Semua tergantung kamu,” sahut si Botak.
Aruna berusaha bangkit dari duduknya, sikut kirinya menghantam gelas tuak sehingga menumpahkan seluruh isinya. Kejadian ini mengalihkan perhatian mereka sejenak dari Aruna yang tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengambil Keris Api dari balik jubahnya kemudian menembakkannya ke lantai yang penuh cairan tuak sehingga menimbulkan percikan api yang akhirnya membara. Kedai itu menjadi kacau. Aruna berusaha melompat keluar lewat pintu belakang. Namun langkahnya terhenti oleh gadis pelayan yang coba untuk menghalang. Tangan kokohnya melayang ke arah kepala Aruna. Dia mengelak dengan tangkas. Kali ini si pelayan mundur selangkah untuk mengambil kuda-kuda dan pada satu kesempatan dia mengeluarkan jurus tendangan balik yang menghantam tepat di rahang Aruna yang rapuh. Aruna tersungkur tak berdaya.
#######
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H