Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke-3 menargetkan terciptanya kehidupan sehat dan sejahtera bagi semua kalangan, tanpa memandang usia. Salah satu indikator penting adalah pengurangan presentase perilaku merokok pada penduduk usia 10-18 tahun. Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan besar, mengingat angka prevalensi merokok di kalangan anak dan remaja terus menjadi perhatian serius. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kesehatan individu, tetapi juga membebani sektor kesehatan nasional.
Tantangan Merokok pada Anak dan Remaja
Data survei menunjukkan bahwa angka perokok di Indonesia pada usia 10 hingga 18 tahun masih sangat tinggi. Dengan prevalensi lebih dari 9% pada 2021, jutaan anak dan remaja telah terpapar efek negatif nikotin sejak usia dini. Pengaruh lingkungan, iklan rokok yang masif, dan kebijakan yang belum melindungi anak-anak dari bahaya rokok adalah beberapa penyebabnya.
Dampak Merokok pada Anak dan Remaja
Merokok pada usia dini memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Anak-anak dan remaja yang terbiasa merokok memiliki risiko lebih besar terkena gangguan pada sistem pernapasan, penyakit kardiovaskular, serta mengalami ketergantungan nikotin saat dewasa. Selain itu, kebiasaan ini dapat berdampak negatif pada kualitas hidup mereka, seperti menurunnya kemampuan konsentrasi dalam belajar dan berkurangnya produktivitas. Dalam jangka panjang, perilaku merokok dapat menjadi penghambat bagi generasi muda dalam mencapai potensi terbaik mereka.
Upaya Pemerintah dan Kebijakan Terkait
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi jumlah perokok anak, di antaranya dengan memperkuat aturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan meningkatkan tarif cukai rokok. Namun, pelaksanaan kebijakan ini di lapangan masih menghadapi berbagai kendala, terutama di daerah pedesaan maupun kawasan perkotaan yang padat penduduk. Selain itu, upaya melindungi anak-anak dari paparan iklan dan promosi rokok masih membutuhkan pengawasan yang lebih intensif.
Peran Pendidikan dan Komunitas
Untuk mengurangi jumlah anak dan remaja yang merokok, tidak hanya kebijakan yang diperlukan, tetapi juga pendidikan. Sekolah, sebagai tempat untuk belajar dan berkembang, harus menjadi pusat pendidikan tentang bahaya merokok. Sebaliknya, komunitas harus berpartisipasi, misalnya melalui kampanye anti-rokok yang melibatkan anak muda secara inovatif dan inklusif.
Harapan untuk Masa Depan
Untuk mencapai target SDG 3 dalam menurunkan angka perokok di kalangan anak-anak, dibutuhkan kolaborasi yang solid antara pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan yang sudah diberlakukan, seperti Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan kenaikan tarif cukai rokok, dapat dijalankan secara merata hingga ke wilayah terpencil. Sementara itu, lembaga pendidikan dapat mengambil peran penting dengan memberikan pemahaman sejak dini tentang bahaya merokok, termasuk dampak negatifnya terhadap kesehatan fisik dan mental.
Sebagai lingkungan utama anak, keluarga memegang peranan besar dalam mendukung upaya ini. Orang tua diharapkan menjadi teladan yang baik dengan tidak merokok dan secara aktif mengajarkan pentingnya menjaga kesehatan. Di sisi lain, masyarakat juga harus terlibat dengan menciptakan lingkungan yang kondusif, seperti mendukung kampanye antirokok dan melindungi anak-anak dari pengaruh buruk iklan rokok yang sering menyasar generasi muda.