Tentunya saya tidak akan ikut dalam polemik "Mudik / Pulang Kampung" pada program acara Mata Najwa yang bertajuk "Jokowi Diuji Pandemi" sebagaimana ramai diperbincangkan Masyarakat Indonesia saat ini (video lengkap pernyataan Presiden Jokowi disini), namun dari keseluruhan wawancara antara Najwa Shihab dengan Presiden Jokowi pada saat itu dan melihat pola kebijakan Pemerintah akhir-akhir ini, maka dapat terlihat bagaimana sebenarnya pola ataupun "Strategi Perang" Presiden Jokowi melawan Covid-19 di Indonesia.
Pada tulisan sebelumnya yang berjudul "Menguak Jokowi Surprise Effect" (dapat dilihat disini), dapat dikatakan bahwa Presiden Jokowi merupakan tipe seorang manusia yang berani mengambil resiko, "out of the box", kekinian, kreatif (banyak ide), dan unpredictable. Karenanya, terkadang perlu waktu untuk kita (terutama masyarakat awam) yang jauh dari lingkaran istana untuk mengetahui seperti apa maksud dari suatu kebijakan yang diambilnya, termasuk dalam memerangi Covid-19 di Indonesia saat ini.
Pada tanggal 2 Maret 2020, awal publikasi pasien positif Covid-19 di Indonesia yang dilakukan sendiri oleh Presiden Jokowi didampingi Menkes Terawan Agus Putranto, Mensesneg Pratikno, dan Seskab Pramono Anung di beranda Istana Merdeka pada saat itu terkesan sangat santai. Bahkan banyak pihak membandingkannya dengan negara lain (seperti Singapura, Korsel dan Jepang) yang terlihat lebih serius dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Sejak saat itu, tuntutan untuk melakukan "lockdown" sebagaimana dilakukan di Wuhan (pusat pandemi Covid-19), semakin dilancarkan oleh berbagai pihak. Bahkan tanpa adanya lockdown, beberapa pihak memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi Episentrum baru Virus Corona Dunia Setelah Wuhan.
Namun lagi-lagi Pemerintah seakan-akan tidak bergeming atas semua tuntutan itu, bahkan Jawaban Pemerintah saat itu pun terlihat kurang tegas, hanya mengatakan bahwa "sampai saat ini Pemerintah belum ada pemikiran untuk melakukan lockdown" dengan argumen seadanya.
Puncaknya, ketika terungkap bahwa telah ada lebih dari 70 ribu warga telah meninggalkan Ibu Kota kembali ke kampung halamannya masing-masing sejak masa tanggap darurat Covid-19 hingga 31 Maret dan ditemukan bahwa salah satu penyebab penyebaran covid-19 di daerah-daerah akibat dari masyarakat yang berasal dari wilayah Jabodetabek, sejak saat itu, tudingan yang mengatakan Pemerintahan Jokowi tidak serius, abai, kurang tegas, lambat dalam merespon penyebaran covid-19 dan lebih mementingkan masalah ekonomi dibandingkan kesehatan masyarakat pun semakin bersileweran di tengah-tengah masyarakat.
Lantas apakah benar tudingan itu? Seperti itukah Presiden Jokowi?...
Untuk menjawabnya, mari kita urai satu persatu pola kebijakan yang dikeluarkan Presiden Jokowi dalam memerangi covid-19 ini secara bertahap:
Walaupun sebenarnya telah dilakukan gerakan "bawah tanah" yang masyarakat tidak mengetahuinya secara pasti apa saja itu, kebijakan Pertama yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang diketahui oleh publik terkait dengan penanganan covid-19 ini adalah pembentukan tim "Gugus Tugas Pusat" yang diketuai oleh Kepala Basarnas. Dari sini terlihat strategi Pemerintah untuk menyatukan kekuatan, agar penanganan covid-19 di Indonesia dapat terkoordinir dan dilakukan dibawah satu komando.
Pada masa ini, harus diakui bahwa "peralatan tempur" belum memadai, sehingga dapat dikatakan Pemerintah belum siap untuk melakukan peperangan. Di Jakarta saja (sebagai ibukota negara), jumlah fasilitas kesehatan (rumah sakit dan peralatan penunjangnya lainnya) masih sangat minim, protap penanganan pasien covid-19 belum sempurna dan terkoodinir dengan baik, ketersediaan APD masih sangat kurang, termasuk laboratorium untuk pengujian PCR, baru tersedia satu. Apalagi di daerah-daerah, tidak mempunyai senjata sama sekali untuk bisa bertempur.
Sementara pada tingkat pelaku usaha dan masyarakat, sejak awal bulan maret tersebut, kepanikan mulai terjadi. Tidak hanya IHSG di pasar modal dan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar Amerika yang mulai merosot tajam, dengan edukasi/pemahaman terkait Covid-19 yang terbatas, sempat terjadi "punic buying" yang melanda warga sekitar Jabodetabek, bahkan karena kegelisahannya, masyarakat mulai berbondong-bondong mengunjungi klinik/puskesmas/rumah sakit untuk memeriksakan diri dan meyakinkan bahwa dirinya tidak terkena covid-19, sehingga penumpukan pasien pun terlihat di tempat-tempat tersebut.