Lihat ke Halaman Asli

Andi Chairil Furqan

Menelusuri Fatamorgana

Penyalahgunaan Data BPK Vs Penyalahgunaan Uang Rakyat

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hal yang menggembirakan dan sekaligus memilukan datang dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI di bulan oktober 2010 silam. Betapa tidak, disaat BPK memaparkan peningkatan kualitas penyusunan laporan keuangan pemerintah baik Pemerintah Pusat (LKPP), Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) maupun Pemerintah Daerah (LKPD) yang ditandai dengan opini hasil pemeriksaan BPK yang menunjukkan perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya, disaat bersamaan pula BPK menyampaikan rencana penutupan/pembatasan akses (atau apapun istilahnya) terhadap laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas Laporan keuangan pemerintah tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah apakah upaya menghindari adanya penyalahgunaan data BPK tidak akan berimbas pada terbukanya akses penyalahgunaan uang rakyat?

Pada tanggal 12 Oktober 2010 silam, tepatnya dalam Rapat Paripurna di gedung DPR, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Hadi Poernomo menyatakan bahwa kualitas penyusunan LKPP, LKKL dan LKPD saat ini telah lebih baik daripada periode sebelumnya. Hal ini ditandai dengan perubahan opini BPK atas LKPP dari opini tidak memberikan pendapat (TMP/Disclaimer) atas LKPP tahun 2004-2008 menjadi opini wajar dengan pengecualian (WDP) atas LKPP tahun 2009.

Begitupula berkaitan dengan opini atas pemeriksaan terhadap LKKL dan LKPD, menunjukkan bahwa opini LKKL Tahun 2009 secara persentase menunjukkan adanya kenaikan. Opini wajar tanpa pengecualian (WTP) sebanyak 57% dari total LKKL yang sebelumnya hanya 41% (tahun 2008) dan 19% (tahun 2007). Sementara opini TMP hanya 10% dari total LKKL yang sebelumnya 22% (tahun 2008) dan 41% (tahun 2007). Untuk pemeriksaan atas LKPD, opini LKPD Tahun 2009 secara persentase juga menunjukkan adanya kenaikan. Opini WTP sebanyak 4% dari total LKPD yang sebelumnya hanya 3% (tahun 2008) dan 1% (tahun 2007). Sementara opini TMP hanya 13% dari total LKPD yang sebelumnya 24% (tahun 2008) dan 26% (tahun 2007).

Peningkatan kualitas opini LKPP/LKKL/LKPD ini dinyatakan tidak terlepas dari perbaikan pertanggungjawaban keuangan negara yang telah dilakukan pemerintah sesuai dengan rekomendasi BPK.

Pada saat hasil kerja BPK telah mendapatkan apresiasi dari seuruh pihak dan mampu mendorong perbaikan pertangungjawaban keuangan negara, disaat yang bersamaan pula, tepatnya pada tanggal 20 oktober 2010, Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Sulawesi Tengah menyatakan bahwa meski data hasil pemeriksaan BPK menjadi hak publik untuk mengetahui dan awalnya BPK membuka akses yang seluas-luasnya terhadap data hasil pemeriksaan melalui website BPK, namun untuk saat ini, tidak semua data bisa diakses secara luas dan untuk sementara BPK belum mempublikasikan data-data tersebut lagi.

Tentunya hal ini sangat memilukan, karena disaat profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara didengung-dengungkan dan regulasi terhadap standar akuntansi pemerintahan akan disempurnakan menuju pemberlakuan basis akrual agar dapat menghasilkan laporan keuangan pemerintah yang lebih andal dan relevan, masyarakat disuguhkan dengan suatu kemunduran yang ditunjukkan oleh salah satu lembaga tinggi negara yang disebut-sebut satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang menurut undang-undang untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara dan selalu independen dalam melakukan tugasnya. Betapa tidak dikatakan kemunduran, karena setelah sekian lama BPK memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk dapat menilai dan mengevaluasi laporan hasil pemeriksaan keuangan BPK terhadap LKPP, LKKL, LKPD dan laporan keuangan BUMN/BUMD serta hasil Pemeriksaan Kinerja dan hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), hanya dikarenakan menanggapi keluhan beberapa pihak, khususnya segelintir oknum dari Pemerintah Daerah, BPK dengan serta merta membatasi akses masyarakat Indonesia yang jumlahnya ratusan juta orang terhadap data-data BPK tersebut.

Dikemukakan bahwa alasan pembatasan akses ini untuk menghindari adanya penyalahgunaan data BPK oleh oknum tertentu. Namun, sebenarnya yang perlu dikemukakan lebih mendetail lagi adalah penyalahgunaan data seperti apa yang dimaksud? Ini yang harus diperjelas dulu sebelumnya. Jika karena data BPK masyarakat dapat menilai dan mengevaluasi secara langsung kinerja pengelolaan keuangan daerah seorang kepala daerah dan jajarannya, apakah hal ini menyalahgunakan data? Dan kalaupun ada oknum dari masyarakat yang menekan ataupun memeras seorang kepala daerah dan jajarannya berdasarkan data BPK, apakah hal ini murni penyalahgunaan data? Bukankah hal ini imbas dari penyalahgunaan jabatan dan uang negara yang telah dipercayakan rakyat kepada pejabat? Yang mana dapat memberikan efek jera kepada pejabat yang tidak bertanggungjawab tersebut?

Untuk menunjukkan peningkatan prestasi BPK kepada publik, semestinya BPK tidak perlu disibukkan dengan keluhan segelintir oknum Pemerintah Daerah tersebut, karena yang terpenting perlu dipikirkan saat ini oleh BPK adalah bagaimana opini audit sebagai output dari hasil kerja BPK dapat memiliki kekuatan hukum untuk memberikan reward/punishment atas presetasi pengelolaan keuangan Negara yang dilakukan oleh Pejabat Negara dan jajarannya, dan memikirkan media yang tepat agar hasil kinerja BPK dapat diakses seluruh lapisan masyarakat. Karena bukan sesuatu hal yang dapat dihindari lagi bahwa proses pembuatan laporan keuangan pemerintah ini telah menelan biaya yang sangat fantastis jumlahnya. Mulai dari biaya dalam pembuatan dan sosialisasi regulasi, biaya pembuatan dan pemeliharaan sistem serta penyediaan sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung, sampai kepada biaya pemeriksaan yang dikeluarkan oleh BPK itu sendiri. Tentunya tidak ada satupun pihak yang menginginkan biaya yang jumlahnya fantastis tersebut menjadi sia-sia dan tidak termanfaaatkan, sehingga agar dapat lebih bermakna dan berfungsi sebagai dasar pengambilan keputusan, sudah seharusnya akses masyarakat terhadap data hasil pemeriksaan BPK dibuka seluas-luasnya. Apalagi jika berdasarkan regulasi yang ada, semestinya masyarakat mempunyai hak untuk mengakses data tersebut setiap saat.

Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 19 ayat 1 dinyatakan bahwa Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan (DPR/DPRD), dinyatakan terbuka untuk umum, yang mana dalam penjelasan ayat tersebut dijelaskan bahwa Laporan hasil pemeriksaan yang terbuka untuk umum berarti dapat diperoleh dan/atau diakses oleh masyarakat. Hal ini juga dipertegas lagi pada Pasal 9 ayat 1 - 4 Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, yang menyatakan bahwa sebagai lembaga publik, secara berkala pemerintah wajib menyediakan dan mempublikasikan informasi laporan keuangan kepada publik dengan cara yang mudah dijangkau dan dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat serta dengan memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik, seperti surat kabar dan website.

Sama halnya dengan pasal 19 UU No. 15 Tahun 2004, tentunya informasi laporan keuangan yang dimaksud pada pasal 9 UU No. 14 Tahun 2008, khususnya ayat 2 point c adalah laporan keuangan yang telah diaudit/diperiksa (audited) sebagaimana data laporan hasil pemeriksaan BPK, yang mana walaupun pada pasal 21- 22 UU No. 14 Tahun 2008 diatur mekanisme memperoleh informasi, namun jika berdasarkan ayat 1 pasal 9 maka informasi laporan keuangan audited yang dimaksud merupakan informasi yang wajib disediakan dan dipublikasikan secara rutin, teratur dan dalam jangka waktu tertentu, sehingga tanpa diminta oleh masyarakatpun, pemerintah wajib untuk menyediakan dan mempublikasikan laporan keuangan audited tersebut.

Selain secara jelas telah diatur dalam undang-undang, dengan dibukanya akses masyarakat terhadap data hasil pemeriksaan BPK, tidak hanya akan bermanfaat dalam melakukan pengawasan dan pengevaluasian terhadap kinerja kepala daerah dan jajarannya saja tetapi sebenarnya telah membuka ruang terhadap kemajuan dunia pendidikan, khususnya dalam pelaksanaan penelitian. Ketersediaan data sekunder tersebut memberikan ruang kepada mahasiswa, dosen dan para peneliti untuk melakukan penelitian berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara yang mana nantinya tidak hanya dapat berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan, namun juga akan berkontribusi dalam mewujudkan pemerintahan yang bebas KKN, profesional, efektif, efisien, transparan dan akuntabel.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline