Lihat ke Halaman Asli

Perintah "Adakan Kendurian!" Menuai Cibiran

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Ada kejadian cukup menarik perhatian saya saat terjadi fenomena gerhana bulan Sabtu 4 April 2015 kemarin. Yang menarik bukanlah bagaimana keindahan rembulan yang nampak seperti kuning telur rebus, tapi bagaimana tanggapan tetangga ketika ibu saya menyerukan “Ada gerhana bulan, cepat adakan kendurian!”

Beberapa tetangga menanggapi seruan ibu saya dengan sikap pro-aktif, mendukung bahwasannya memang harus diadakan kendurian bagi orang hamil ketika terjadi gerhana bulan. Tetapi ada pula yang bersikap negatif atas seruan ibu saya, dengan cibiran di belakang, “Ahh, bilang aja kalau pingin makan gratis”.

Cukup menarik bagi saya untuk mengkaji ini, bagaimana satu seruan untuk melestarikan budaya bisa dimaknai berbeda oleh beberapa orang. Adakah yang salah dengan seruan ibu saya, sehingga menuai tanggapan negatif? Mungkin ibu saya harus mengevaluasi tutur katanya agar bisa bermakna sedap di telinga para pendengarnya.

Makna Kalimat Perintah

Secara sintaksis kebahasaan, seruan ibu saya itu tergolong kalimat perintah. Di mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP, saya ingat kalau kalimat perintah itu dibagi menjadi dua, yaitu kalimat perintah langsung dan kalimat perintah halus. Seruan ibu saya ini termasuk pada kalimat perintah langsung, karena tidak mengandung kata-kata penghalus silahkan, tolonglah, atau mohon yang biasa terdapat pada jenis kalimat perintah halus.

Secara semantik, tentu saja ada perbedaan makna antara kalimat perintah langsung dan kalimat perintah halus. Memang sih, secara maksud atau tujuan komunikasinya sama, yaitu hendak memerintah lawan bicara untuk melakukan sesuatu. Tapi perbedaannya, jika menggunakan kalimat perintah halus akan lebih memberi efek lebih sopan dibanding kalimat perintah langsung. Bisa jadi ini sebabnya kenapa seruan ibu saya ditanggapi negatif oleh tetangga, kurang sopan gimana gitu.

Tergantung, siapa subjek yang menanggapi

Apabila sebab negatifnya tanggapan tetangga adalah karena kurang sopannya seruan ibu saya, tapi kenapa masih ada, bahkan lebih banyak, tetangga yang pro-aktif mendukung seruan ibu saya? Saya pikir ada sebab selain kesopanan berbahasa yang mempengaruhi sikap tetangga tadi, yaitu konteks subjek yang menanggapi seruan ibu saya.

Berdasarkan presepsi saya, beberapa tetangga yang bersikap positif pada seruan ibu saya adalah golongan orang-orang tua, yang bisa dibilang sangat berpengalaman di bidang budaya lokal. Mereka memahami bahwa ketika terjadi gerhana bulan, sudah seharusnya keluarga perempuan yang hamil mengadakan kendurian.

Sedangkan tetangga yang bersikap negatif adalah golongan ibu-ibu muda, yang suka ngerumpi gitu lah. Bisa dibilang mereka adalah ‘kompetitor’ ibu saya.Wajar saja jika sikap yang cenderung muncul adalah cibiran pedas pada ibu saya.

Ibu saya harus lebih sopan dan berhati-hati

Dari kejadian ini, saya bisa ambil hikmah. Bahwasannya satu kalimat perintah sederhana, bisa dimaknai berbeda. Maka ibu saya sudah seharusnya melakukan evaluasi, bahwa ibu harus lebih sopan dalam berkata dan lebih memperhatikan siapa yang tetangga yang mendengar perintah itu. Jangan sampai niat ibu yang baik, yang ingin mengingatkan untuk melestarikan budaya kendurian gerhana bulan, ditanggapi negatif hanya karena salah ujaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline