Lihat ke Halaman Asli

Sejarah Konflik Laut Cina Selatan

Diperbarui: 1 Juni 2024   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

SEJARAH KONFLIK LAUT CINA SELATAN TERHADAP KEDAULATAN INDONESIA

 

Konflik yang berada di laut cina selatan tak lepas dari sejarah panjang mengenai laut tersebut. Pada abad ke-16 ketika bangsa eropa menggunakan laut ini sebagai rute pelayaran dari eropa dan asia selatan ke tiongkok, pelaut Portugal menyebutnya laut tiongkok (mare da china) dan merubahnya menjadi Laut Cina Selatan atau South China Sea (Nan Hai) untuk membedakan dengan laut lainnya, (International Hydrographic Organization 1953).

Peta wilayah kedaulatan china yang terdapat pada Nine Dash Line (garis wilayah yang digambarkan oleh China untuk menetapkan kedaulatan wilayahnya berdasarkan kekuasaaan kerajaan pada masa itu). Laut Cina selatan telah terdapat pada gambar pulau-pulau pada Dinasti Han abad 260 sebelum masehi kemudian pada abad ke-12 sebelum masehi Dinasti Yuan memasukkan laut china selatan kedalam wilayah teritori China kemudian diperkuat pada Dinasti Ming dan Dinasti Qing yang didukung oleh bukti arkeologis China pada masa dinasti tersebut (Setyasih Harini). Selai  itu, China merujuk pada perjanjian perbatasan antara China dan Perancis tahun 1887 (ketika Vietnam menjadi protektorat Perancis) di mana Kepulauan Paracel dan Spratly diserahkan kepada China.

Bagi China  wilayah laut ini memiliki sumber daya alam yang melimpah menurut penelitian yang diadakan oleh The Committee For Coordination Of Joint Prospecting For Mineral Resources In Asian Offshore Areas, Economic Commission For Asia And The Far East, sejak tahun 1960-an telah menemukan potensi mineral terutama minyak dan gas menurut perkiraan china tingkat produksi minyak spratly mencapai 1,4-1,9 juta barel per hari. Selain kandungan minyak dan gas, laut cina selatan juga berpotensi besar akan variasi jenis ikan. Laut cina selatan juga merupakan jalur strategis untuk membangun kepentingan nasionalnya dan memperluas wilayah kedaulatan.

 Dari sejarah historis inilah sehingga China mengklaim wilayah Laut China Selatan tersebut. Sehingga pada tahun 1951 di Fransisco Peace Conference Perwakilan Menteri Luar Negeri China memberikan pernyataan ke publik mengenai pulau Spartly dan Paracel yang berada di wilayah laut cina selatan. Hal ini menimbulkan ketegangan terhadap beberapa negara yang berada di wilayah laut cina selatan seperti Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei.

Klaim Vietnam atas pulau-pulau Spratly juga berdasarkan perolehan Kaisar Gia Long tahun 1892 yang kemudian menggabungkannya dengan Vietnam pada tahun 1832. Kaisar Minh Mang yang memerintah Kerajaan Vietnam pada tahun 1834 juga telah mendirikan pagoda dan tanda batu di Pulau Spratly.

Filipina juga mulai memperhatikan pulau-pulau Spratly setelah mendapat kemerdekaan dari Amerika Serikat dan mengajukan tuntutan kepemilikan dalam sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1946. Setelah merdeka, Menteri Luar Negeri Filipina mengeluarkan pernyataan bahwa the new Southern Islands (istilah Jepang untuk pulau-pulau di Laut China Selatan) diserahkan Jepang kepada Filipina. Filipina juga kemudian mendasarkan tuntutannya kepada doktrin kedekatan (proximity) dan kebutuhan yang mendesak bagi pertahanannya.

Tuntutan Malaysia baru dikemukakan pada tanggal 21 Desember 1979 pada waktu dipublikasikannya peta landas Kontinen Malaysia. Malaysia menganggap pulau-pulau yang berada di Landas Kontinen dan ZEE-nya, yaitu Terumbu Layanglayang (Swallow Reef), Matanani (Mariveles Reef), dan Ubi (Dallas Reef) sebagai wilayahnya. Malaysia juga menyatakan bahwa Inggris telah menguasai pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari Sabah dan Serawak pada abad ke-18

Meskipun sampai saat ini tidak menduduki satu pulau pun, seperti Malaysia, Brunei telah mengajukan tuntutan atas Louisa Reef sebagai wilayah yang berada di landas Kontinen dan Zee-nya. Brunei telah mengajukan protes terhadap peta yang dikeluarkan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 1979 yang memasukkan Louisa reef yang disebut Terumbu Semarang Barat ke dalam wilayah kedaulatan Malaysia.

Berdasarkan tuntutan-tuntutan diatas, para penuntut merasa lebih berhak menduduki atau memperluas pendudukan mereka atas pulau-pulau Spratly. Dalam usaha memperkuat tuntutan mereka, negara-negara pantai tersebut makin memperluas pendudukan atas pulau-pulau Spratly dengan tindakan yang lebih nyata, misalnya menempatkan pasukan, mendirikan bangunan-bangunan, atau menjadikan objek wisata di pulau-pulau yang telah dikuasai, terutama sejak dasawarsa 1970-an.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline