Lihat ke Halaman Asli

Suplemen Protein Tidak Aman bagi Penderita Gagal Ginjal dan Hati, Mitos atau Fakta?

Diperbarui: 16 Februari 2021   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anda mungkin pernah mendengar desas-desus tentang efek samping suplemen protein terhadap ginjal dan hati. Ada anggapan bahwa suplemen protein dapat merusak kedua organ tersebut. Apakah hal tersebut benar adanya? Simak selengkapnya dalam artikel berikut ini.

Suplemen protein menjadi salah satu pilihan untuk membantu mencukupi kebutuhan protein tubuh sehari-hari selain karena praktis, mengonsumsi suplemen protein juga memberikan beberapa manfaat yang baik bagi tubuh antara lain mengontrol berat badan ideal, meregenerasi kerusakan sel-sel di dalam tubuh, pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh, hingga meningkatkan imunitas atau respon kekebalan tubuh.

Namun di balik itu, diet tinggi protein dapat meningkatkan kadar pengeluaran kreatinin dan ureum dari tubuh sehingga teori ini menimbulkan kekhawatiran bagi orang-orang yang sudah memiliki gangguan ginjal kronis untuk mengonsumsi protein karena takut terjadi peningkatan keparahan penyakit yang diidapnya. Teori ini faktanya tidak sepenuhnya benar karena hingga saat ini belum ada bukti akurat adanya efek samping suplemen protein terhadap ginjal dan hati. Bahkan organ hati kita membutuhkan protein untuk memperbaiki dirinya dan mengubah lemak menjadi lipoprotein. 

Kebutuhan protein pada orang dewasa bervariasi berdasarkan pada status nutrisi, keadaan penyakit dan kondisi klinis. Kebutuhan protein diekspresikan sebagai gram per kilogram (gram/kg) berat badan. Metabolisme protein tergantung pada fungsi ginjal dan hati; sehingga kebutuhan akan berubah selama kondisi penyakit yang mempengaruhi kedua sistem organ ini. Kebutuhan harian protein yang direkomendasikan adalah 0,8 – 1 gram/kg berat badan. Pada kasus gagal ginjal tanpa cuci darah kebutuhannya adalah 0,6 – 1 gram/kg berat badan, sedangkan kasus gagal ginjal yang sudah pada tahap cuci darah (dialisis) kebutuhan harian proteinnya meningkat menjadi 1,2 – 2,7 gram/kg berat badan. Sementara untuk kasus kegagalan hepatik (gagal hati) parah dibutuhkan protein sekitar 0,5 – 1,5 gram/kg berat badan setiap harinya.

Kelebihan protein disimpan sebagai protein visceral (visceral protein) dan somatik (somatic protein). Cadangan protein visceral meliputi protein plasma, hemoglobin, beberapa komponen pembekuan, hormon dan antibodi. Antibodi inilah yang menjadi kunci utama dalam sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit, karena akan bereaksi melawan antigen dari mikroorganisme patogen yang menyerang tubuh. Cadangan protein somatik meliputi cadangan pada otot rangka dan polos. Cadangan protein sangat esensial untuk berbagai fungsi fisiologis dasar sehingga berkurangnya cadangan protein berakibat pada berkurangnya fungsi tubuh yang esensial.

Perlu diketahui, selama ini pembatasan asupan protein pada penderita gagal ginjal adalah untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia (kelebihan fosfat dalam darah). Ginjal normal mampu membuang kelebihan fosfat dalam darah sehingga hiperfosfatemia jarang terjadi. Namun pada orang dengan gangguan ginjal, kemampuan membuang kelebihan fosfat dalam darah menurun sehingga resiko hiperfosfatemia meningkat. Pada dialisis, asupan protein seharusnya tidak dibatasi meskipun akan menyebabkan asupan posfor yang lebih tinggi, karena resiko malnutirisi protein, mortalitas, penurunan fungsi fisik hingga kematian tentu saja melebihi resiko hiperfosfatemia.

Pasien dialisis membutuhkan protein lebih banyak dibandingkan kebutuhan orang dewasa normal karena mereka akan kehilangan protein selama dialisis dan karena gangguan ginjal akan menghalangi kemampuan tubuh untuk menggunakan dan memproses asam amino. Beberapa penelitian melaporkan sekitar 1 – 2 gram protein hilang melalui dialisat dengan konvensional hemodialiser. Dapat lebih tinggi pada high-flux dialyzer. Kehilangan asam amino melalui hemodialisat sekitar 6 – 12 gram setiap perlakuan. Pasien dialisis yang tidak mendapatkan cukup protein akan meningkatkan resiko PEM (Protein-Energy Malnutrition), sehingga meningkatkan resiko kematian dan menurunkan fungsi fisik dan kualitas hidup mereka.

Umumnya, suplemen protein saat ini berbentuk bubuk yang berasal dari tumbuhan (nabati) seperti kedelai, kentang, kacang polong dan dari sumber hewani seperti telur, daging unggas, daging sapi, ikan dan yang paling familiar adalah susu (kasein atau whey protein). Bubuk protein biasanya juga memiliki kandungan lain, seperti gula tambahan, penambah rasa buatan, pengental, vitamin dan mineral buatan, sehingga suplemen tersebut kandungan proteinnya sudah tidak murni lagi karena diberikan zat-zat lain selama masa pembuatannya. Hal lain yang juga banyak ditemui, konsumsi suplemen protein bisa menimbulkan alergi. Karena whey protein berasal dari susu sapi, orang yang alergi susu sapi dapat mengalami alergi jika mengonsumsi suplemen ini. Selain itu, jika Anda mengonsumsi whey protein tanpa menyeimbangkannya dengan serat, sayur dan buah, maka bisa memicu konstipasi dan masalah pencernaan.

Dari semua sumber protein yang paling aman dikonsumsi sebenarnya adalah dari sumber ikan, karena ikan memiliki berat molekul paling ringan dari semua sumber protein sehingga proses penyerapannya akan lebih cepat di dalam tubuh. Salah satu jenis ikan yang mengandung kadar protein tinggi adalah ikan toman atau Channa micropeltes. Ikan ini masih satu famili dengan ikan gabus yaitu sama-sama dari famili Channidae. Ikan yang tergolong famili Channidae memiliki kadar protein, albumin dan nutrisi lain yang cukup lengkap. Ikan toman utamanya, species ini terbukti memilki kandungan albumin paling tinggi dan asam amino paling lengkap dibandingkan jenis ikan famili Channidae lainnya dan juga sangat jarang dilaporkan menimbulkan alergi.

Suplemen protein sebenarnya aman dikonsumsi oleh siapapun bahkan oleh penderita gagal ginjal maupun gangguan fungsi hati, dengan catatan protein tersebut harus diolah dengan cara yang benar yaitu melalui proses ekstraksi tanpa pemanasan dikarenakan sifat protein mudah rusak dan terurai oleh suhu tinggi atau dikenal dengan istilah denaturasi. Denaturasi menyebabkan protein menurun kualitasnya dan tidak bisa berfungsi maksimal lagi bagi tubuh. Sebaiknya suplemen protein yang dikonsumsi juga sudah berpartikel nano sehingga tubuh bisa menyerapnya dengan cepat dan mudah tanpa membebani kerja organ-organ bermasalah. Dan terakhir yang juga tidak kalah penting adalah sebaiknya suplemen protein yang kita konsumsi terjamin kemurniannya atau tanpa campuran bahan tambahan lain dalam proses pengolahannya sehingga tidak akan ditemui efek samping merugikan seperti alergi yang mungkin berasal dari bahan-bahan tambahan tersebut.

Sumber referensi:

  1. Raylene M Rospond, 2008. Terj. Benediktus Yohan, D. Lyrawati, 2009. Penilaian Status Nutrisi.
  2. Firlianty et al. 2013. Chemical Composition and Amino Acid Profile of Channidae Collected from Central Kalimantan Indonesia. Brawijaya University Malang East Java. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 2 No. 4, December 2013, 25-29.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline