Memaknai Prioritas Antara Hukum Agama dan Hukum Negara dalam Konteks Peringatan 17 Agustus
Pendahuluan
Dalam tradisi pemikiran Islam, diskursus mengenai relasi antara hukum agama (syariat) dan hukum negara selalu menjadi isu yang sarat dengan nuansa teologis, filosofis, dan etis. Persoalan ini sering muncul dalam berbagai situasi, termasuk dalam hal yang tampaknya sederhana, seperti mengenakan atau membuka jilbab pada acara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Pertanyaan ini, meskipun terlihat sederhana, sebenarnya menyentuh inti dari perdebatan tentang prioritas antara kewajiban agama dan tuntutan negara. Dalam artikel ini, kita akan mencoba memahami dilema ini melalui lensa filsafat, kalam (teologi Islam), dan irfan (mistisisme Islam).
1. Perspektif Filsafat: Otonomi Moral dan Hukum Universal
Filsafat, sebagai disiplin yang menekankan rasionalitas dan pencarian makna, menempatkan manusia sebagai entitas yang memiliki otonomi moral. Dalam konteks ini, keputusan untuk mengenakan atau membuka jilbab bisa dilihat sebagai ekspresi dari kebebasan individu yang harus dihormati oleh negara dan masyarakat. Namun, filsafat juga mengajarkan bahwa kebebasan individu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip universal, seperti keadilan, martabat, dan kemaslahatan bersama.
Ketika hukum negara dan hukum agama tampak bertentangan, filsafat mendorong kita untuk mencari titik temu yang dapat memadukan keduanya. Pada peringatan Hari Kemerdekaan, mengenakan jilbab dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan terhadap identitas religius seseorang, sementara tuntutan untuk membuka jilbab mungkin muncul dari kebutuhan untuk menyamakan perlakuan atau mengikuti protokol tertentu. Filsafat akan mempertanyakan apakah protokol tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip universal ataukah sekadar manifestasi dari kekuasaan negara yang harus dipatuhi tanpa refleksi kritis.
2. Perspektif Kalam: Ketaatan kepada Allah dan Ketaatan kepada Penguasa
Dalam kalam, yang berfokus pada perdebatan teologis dalam Islam, isu ini sering dikaitkan dengan konsep ketaatan. Dalam teologi Islam, ketaatan kepada Allah adalah kewajiban utama yang harus diprioritaskan di atas segala bentuk ketaatan lainnya, termasuk ketaatan kepada penguasa atau negara. Al-Qur'an secara eksplisit menggarisbawahi pentingnya menutup aurat sebagai bagian dari ketaatan seorang Muslimah kepada Allah (QS. Al-Ahzab: 59, QS. An-Nur: 31).
Namun, kalam juga mengajarkan bahwa seorang Muslim harus taat kepada penguasa selama tidak bertentangan dengan perintah Allah. Dalam konteks ini, perintah negara yang mewajibkan seseorang membuka jilbab dalam situasi tertentu harus ditimbang dengan pertimbangan syariat.
Apabila perintah tersebut tidak secara langsung menghalangi seseorang dari menjalankan kewajibannya kepada Allah, ada ruang untuk mempertimbangkan ketaatan kepada negara. Namun, jika perintah tersebut jelas-jelas bertentangan dengan syariat, maka ketaatan kepada Allah harus diutamakan.
3. Perspektif Irfan: Harmoni dan Kehendak Ilahi