Lihat ke Halaman Asli

HTI dan Konsep Khalifah yang Sudah Tak Relevan

Diperbarui: 22 Mei 2017   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu khilafah akhir-akhir menjadi isu yang cukup santer dan menyedot banyak perhatian masyarakat. Terlebih setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang paling getol menyuarakan konsep khilafah di Indonesia resmi dilarang oleh pemerintah Indonesia karena dinilai dapat mengancam keutuhan NKRI dan tidak sesuai dengan Ideologi Pancasila.

HTI bercita-cita mewujudkan Indonesia sebagai bagian dari Khilafah Islamiyah, suatu bentuk pemerintahan yang terdiri dari negara-negara Islam yang bergabung dalam satu bingkai kepemimpinan, untuk kemudian menggunakan sistem hukum islam sebagai landasan bernegara.

Hizbut Tahrir punya keyakinan bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang terbaik. Keyakinan yang pada titik tertentu juga menganggap bahwa khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang paling sesuai dengan Islam. Klaim yang sebenarnya boleh dibilang terlalu terburu-buru dan terlalu memaksakan.

Konsep khilafah yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir, bukan hanya muluk, tapi juga mempunyai banyak kelemahan, terutama soal relevansinya terhadap kondisi negara-negara di dunia saat ini.

Selain itu, klaimnya yang menganggap khilafah sebagai sistem pemerintahan terbaik dan satu-satunya sistem pemerintahan yang diperintahkan oleh ajaran Islam juga perlu dipertanyakan.

Bahwa esensi Al-Quran dan Sunnah yang merupakan dasar ajaran Islam akan selalu kontekstual dengan jaman, tentu itu adalah benar adanya dan tak bisa dibantah, sebab memang begitulah Islam datang, ia menjadi pemandu bagi manusia sejak ia diturunkan sampai nanti kelak datangnya akhir jaman. Namun jika kemudian menganggap kontekstualitas itu juga berlaku untuk sistem pemerintahan khilafah, tentu itu hal yang perlu untuk diluruskan. Sebab, nyatanya, baik Al-Quran maupun As-Sunnah tidak ada ayat ataupun hadits yang menerangkan secara spesifik tentang kewajiban menggunakan sistem pemerintahan khilafah.

Kewajiban yang diatur dalam Al-Quran dan juga Hadits lebih kepada kewajiban untuk mengangkat pemimpin. Sebab, kepemimpinan adalah hal amat sangat penting dalam hidup manusia. Tanpa adanya pemimpin, kehidupan manusia akan kacau.

Lalu bagaimana dengan bentuk negara atau sistem pemerintahan?

Islam tidak pernah menentukan atau mewajibkan suatu bentuk negara atau sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kebebasan dan kewenangan sendiri untuk bisa merancang dan menentukan sistem pemerintahan yang dirasa sesuai dan pas sesuai dengan dinamika wilayah masing-masing.

Hal inilah yang dulu dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw saat membangun negara Madinah. Kala itu, Nabi Muhammad saw yang merupakan pemimpin agama sekaligus pemimpin negara mengatur bentuk negara dan sistem pemerintahan sesuai dengan kesepakatan para warganya yang terdiri dari beragam latar belakang, mulai dari latar belakang asal yaitu Ansor dan Muhajirin, sampai latar belakang keyakinan mulai dari muslim, Yahudi, Majusi, Kristen, sampai penganut agama nenek moyang. Kesepakatan itu kelak disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah, yang mana di dalamnya mengatur tentang landasan kehidupan bernegara masyarakat Madinah.

Sistem pemerintahan ala Khalifah justru muncul setelah Kanjeng Nabi wafat atau masa Khulafaurrasyidin. Itupun tidak serta merta menjadi bentuk sistem pemerintahan yang baku, sebab dalam perjalanannya, metode pengangkatan pemimpin atau imam-nya pun mengalami perubahan. Abu Bakar, misalnya, beliau diangkat secara aklamasi; Umar diangkat melalui wasiat; Utsman diangkat melalui tim formatur yang diprakarsai Umar; dan sedangkan Ali diangkat melalui aklamasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline