[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Foto : Kompas.com"][/caption]
Peristiwa “politik” Century yang menggelinding ditengah samudera wacana publik, khususnya tentang terlibat atau tidaknya Sri Mulyani dalam kasus bail out Century, memang harus diakui ampuh menguras energi masyarakat kita yang distrukturisasi baik secara politik maupun sosial oleh segelintir elit politik untuk melakukan stigmatisasi negatif tentang Sri Mulyani.
Publik tentu merekam sangat baik, sejak Sri Mulyani mengungkap keterlibatan salah seorang pengusaha yang berkuasa-sekaligus pimpinan partai politik tertentu sebagai pengemplang pajak terbesar di Indonesia, praktis Sri Mulyani sejak saat itu mulai direduksi dan didestrukturisasi eksistensinya, baik secara moral maupun politik. Sri Mulyani memang telah memberikan implikasi pandagan terkait dengan pernyataannya mengungkap kasus pajak tersebut, sebagai sebuah konsekwensi jabatan yang harus diembannya demi menyelamatkan ekonomi bangsa ini, khususnya berkaitan dengan kewenangannya mengelola postur anggaran negara yang terus dikoyak para pengusaha dan mafia pajak. Termasuk oleh pengusaha-berkuasa terkait sikap pembangkangan dan manipulasi pajak perusahaanya yang diungkap oleh Sri Mulyani.
Seperti durian runtuh, bagi para petualang politik dibalik pengaruh kekuatan politik tertentu (sebutan mantan wapres Yusuf Kalla), kasus bailout Century kemudian menjadi momentum strategis untuk ”menjatuhkan” Sri Mulyani. Politik ”Century” terus di olah sedemikian rupa, ditarik ke sana-kemari, di cari korelasi dan rasionalitas politiknya untuk mendudukkan bahwa Sri Mulyani memang sengaja merancang skenario bailout Century untuk kepentingan pasar kekuasaan politik pemerintah yang berkuasa.
Selanjutnya, publik dipertotonkan oleh drama politainment di media massa. Seperti bagaimana perkembangan kasus bailout bank Century baik dilihat dalam konteks upaya penegakan hukum atas dugaan kerugian negara yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut, maupun dinamika konstelasi pembahasan kasus Century dalam ranah politik yang menyediakan ruang yang begitu terbuka dan transparan bagi politisi Senayan untuk mengeksplorasi sekaligus mengesploitasi para tokoh yang dianggap terlibat dalam kasus tersebut. Hingga berulang (penasaran) menghadirkan testimoni kembali dari beberapa tokoh yang dianggap mengetahui secara persis proses peristiwa bailout tersebut terjadi.
Syahdan, Sudah hampir tiga tahun ini, politisi Senayan yang dimotori oleh partai politik tertentu terus sibuk melakukan positioning untuk menjustifikasi bahwa SRI Mulyani dan Budiono ”harus” terlibat dalam kasus Century. Disisi lain, posisi Sri Mulyani sejak awal tetap tidak berubah.
Ia menyediakan ruang dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi aparat penegak hukum untuk terus mendorong hukum positif agar kasus Century tetap di proses untuk membuktikan apakah dirinya terlibat atau tidak. Sri Mulyani juga mendorong praktisi dan pengamat untuk terus menelaah secara akademis tentang kebijakan bailoutnya. Bahkan Sri juga menyediakan waktu tanpa reserve kepada siapapun pihak, baik politisi, hingga masyarakat luas untuk menelaah peristiwa Century dari sudut pandang manapun baik ilmiah maupun obrolan tanpa nalar tentang masalah Century.
Sri Mulyani teramat sadar posisinya hanya tinggal bersandar pada waktu dan kebenaran yang hakiki. Bahwa kebenaran dan kesalahan memiliki warna yang jelas berbeda, tidak akan bercampur dan mendustakan mata. Sri teramat sadar bahwa energi rasional dan akademisnya yang menjelaskan tentang duduk perkara kasus Century akan tidak berarti apa-apa ditengah liberalisasi cara pandang yang subyektif yang lebih menonjolkan pada prinsip like or this like secara personal.
Sri juga teramat sadar bahwa ia tengah berhadapan dengan politik stigmatisasi yang mengedepankan kebenaran opini ketimbang kebenaran secara hukum yang didesain sebagai skenario untuk demoralisasi eksistensi dirinya sebagai birokrat tegas dan memegang prinsip terhadap akuntabilitas kinerja. Ia juga bukannya tanpa sadar jika ketegasan dan prinsip kinerja birokrasinya itu kemudian akan memakan korban bagi siapapun birokrat dan pengusaha nakal yang korup.
Saat ini, ikhtiar Sri Mulyani tentang logika waktu yang mengusung kebenaran tentang peristiwa Century, mulai memberikan jawaban. Pertama, hingga kini kebijkan bailout Century yang diambil oleh ketua KKSK/ menteri keuangan bukan merupakan pelanggaran hukum, Sri Mulyani juga tidak berada dalam posisi yang mengambil keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut. Kedua, fakta politik yang telah digelar oleh timwas Century DPR melalui berbagai pemanggilan ulang para saksi, termasuk saksi Yusuf Kalla dan Mantan Ketua KPK Antasari Ashar, menunjukkan bahwa Sri Mulyani justru berada dalam posisi korban atas pihak-pihak yang memanfaatkan kasus tersebut. Pernyataan Yusuf Kalla yang mencengangkan, bahwa kasus bailout dimanfaatkan oleh para petualang politik, termasuk di fait a compli-nya Sri Mulyani oleh Bank Indonesia yang mendustakan data tentang kondisi makro/ mikro ekonomi pada saat itu, serta pemanfaatan kebijakan yang kemudian bank tersebut dirampok sendiri oleh pemiliknya, telah membuktikan konsistensi Sri Mulyani berada dalam kebenaran.
Dengan peristiwa Century ini, masyarakat tentu semakin dewasa. Siapa yang bersemayam memendam dusta kepada publik dan memanipulasinya sehingga publik berpaling pada akar masalah sebenarnya dibalik sebuah ketegasan kebijakan dan sikap politik seorang birokrat yang disandang Sri Mulyani.
Terlepas kebijakan itu memenuhi unsur kelemahan dan membuka peluang bagi terciptanya politisasi yang menguntungkan atau merugikan semua pihak, publik percaya kebenaran sejati akan menyediakan tempatnya tersendiri. Dan bagi siapapun yang menabur skenario membangun opini negatif tentang Sri Mulyani, publik juga akan menyediakan tempatnya tersendiri bagi mereka. Tentu tempat yang tidak layak bagi mereka ditengah kehidupan politik yang bermartabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H