Lihat ke Halaman Asli

Komite Etik yang Tidak Etik

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gonjang-ganjing persoalan kasus Nazarudin yang menuding banyak pihak, termasuk sejumlah pimpinan KPK memang akhirnya membuat komite Etik KPK bekerja ditengah begitu derasnya perhatian publik yang barangkali was-was. Was-was, apakah benar independensi KPK terdeviasi oleh praktek kolusi (pertemuan yang berujung terjadinya deal-deal tertentu) antara Nazarudin dengan sejumlah pimpinan KPK yakni Chandra M Hamzah, Johan Budi, M Yasin dan Ade Raharja.

Bahkan ketua KPK sendiri Busyro Muqodas juga disebut Nazarudin sebagai salah satu pimpinan yang terlibat dalam dugaan persengkongkolan jahat itu. Walaupun pernyataan Nazarudin tersebut kemudian dibantah sendiri dengan tegas oleh Busyro Muqodas.

Namun demikian, apa yang dituding Nazarudin disejumlah wawancaranya dengan berbagai media itu, tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja. Publik juga menunggu dan menuntut kepastian kebenaran tudingan tersebut. Dalam kerangka itulah komite etik KPK dituntut untuk bekerja profesional dalam perspektif menguji sejauhmana perilaku etika pejabat publik dalam menjalankan amanah yang dibebankan dipundaknya.

Komite Etik KPK yang sedang bertugas dan sampai saat ini belum mengambil keputusan terkait dugaan keterlibatan sejumlah pimpinanya itu, memang banyak diapresiasi publik. Terutama jika dilihat dari komposisi anggota komite yang memang diinginkan publik, yakni komposisinya didominasi oleh orang diluar KPK.

Komite etik baru hanya bertugas memeriksa Nazaruddin, sementara pihak-pihak yang dituduhkan Nazarudin, yakni sejumlah pimpinan KPK, baru akan minggu depan diperiksa. KPK juga belum memeriksa pihak-pihak lain di luar KPK yang dituduhkan Nazarudin, misalnya ketua komisi III DPR, Benny K Harman yang disebut Nazarudin juga ikut dalam pertemuan di sejumlah tempat.

Apalagi pihak-pihak lain yang disebut Nazarudin terkait kasus korupsi yang sedang disidik KPK, yang menurut Nazarudin bukan cuma melibatkan pimpinan KPK untuk melakukan deal-deal tertentu, tapi juga melibatkan sejumlah petinggi Demokrat dan politisi DPR serta badan anggaran DPR. Sebut saja Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Mirwan Amir dan I Wayan Koster dan Andi Malarangeng, belum jelas kapan atau bisa diperiksa KPK.

Keterkaitan dan interelasi informasi yang disampaikan pihak-pihak yang disebutkan Nazarudin tersebut, sebenarnya jelas akan memberikan referensi yang lebih lengkap dan barangkali bisa lebih menujukkan obyektifitas penilaian komite etik terhadap sejumlah hubungan pimpinan KPK yang dituduhkan Nazaraudin itu.

Rangkaian penjelasan dari pihak-pihak yang disebutkan Nazarduin itulah yang kemudian akan menjadi konstruksi dasar analisis sekaligus kongklusi bagi komite etik untuk menyimpulkan, apakah pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah, Ade Raharja, Johan Budi dan M Yasin terbukti melanggar kode etik profesi.

Akan tetapi belum lama ini publik sangat terperanjat, ketika ketua komite etik KPK, sekaligus penasehat KPK Abdullah Hehamahua, yang juga mencalonkan diri dalam jajaran pimpinan KPK untuk periode 2012 – 2014 mengungkapkan hasil pemeriksaan hanya dari seorang Nazarudin kepada publik di berbagai media massa.

Padahal publik sejatinya masih menunggu hasil pemeriksaan dari pihak yang lain yang disebut Nazarudin oleh komite etik KPK. Sejatinya pula, padahal publik juga masih sabar akan tugas-tugas komite etik KPK yang belum rampung memeriksa semua saksi terkait dugaan sejumlah pimpinan KPK dalam kasus Nazarudin.

Tapi tak disangka publik, Ketua Komite Etik KPK, Abdullah Hehamahua secara politis dan menurut berbagai kalangan sangat instan dan terburu-buru menyampaikan sebuah kongklusi tanpa pertimbangan komprehensif dari pendapat anggota komite etik yang lain. Bahwa apa yang disangkakan oleh Nazarudin adalah sebuah kebohongan yang disampaikan oleh seorang tersangka yang tidak konsisten ucapannya serta secara personal justru menyerang Nazarudin dengan pernyataan bahwa ia adalah sosok yang khianat.

Jika menilik kerja komite etik yang justru seharusnya menilai kedalam (internal) di tubuh KPK, maka apa yang disampaikan oleh ketua komite Etik tersebut jelas bertentangan dengan etika pengungkapan, sekaligus mencerminkan ketidakprofesionalan kinerja komite etik yang justru menabrak pakem penilaian etika. Sekali lagi, bukanhkah penilaian komite etik bukan mengintepretasi pernyataan subyektif Nazarudin dan bukankah seharusnya yang dinilai itu adalah pejabat pimpinan KPK yang dituduhkan Nazarudin ?

Analisis pengujian dan penilaian Nazarudin seharusnya mengacu kepada korelasi pernyataan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang disebut Nazarudin. Apakah terdapat benang merah yang cukup signifikan yang kemudian nantinya bisa mengarah kepada pelanggaran etika pimpinan KPK, yang menurut undang-undang jelas diatur bahwa pejabat KPK dilarang keras berhubungan dengan pihak-pihak yang sedang berperkara.

Dalam konteks yang demikian itulah penyataan bertendensi kesimpulan yang disampaikan oleh Ketua Komite Etik, justru sebagai sebuah sebuah pelanggaran etika. Apalagi pernyataan yang disampaikan Abdulah Hehamahua cenderung subyektif memihak pejabat KPK yang dituduhkan Nazarudin. Yang lebih fatal adalah Ketua komite etik dengan percaya dirinya mengatakan bahwa pertemuan antara Chandra M Hamzah dengan Nazarudin tidak melanggar etika hanya karena tidak ada ada bukti terjadinya penyerahan uang.

Dalam perspektif etika pejabat publik yang sedang menjalankan amanah rakyat apalagi menyangkut soal pemberantasan korupsi, sangat teramat naif, seorang ketua komite etik menyebut tidak adanya pelanggaran etika hanya dengan parameter sederhana yakni ada atau tidaknya bukti penyerahan uang yang terjadi dalam pertemuan tersebut.

Mahasiswa hukum semester pertama pun, akan reaktif dan menolak argumentasi yang jauh dari kadar ilmiah tersebut. Bicara etika profesi, substansinya adalah menyangkut bagaimana seorang pejabat publik mampu menjalankan amanah undang-undang dan kode etik profesinya dengan baik melalui prilaku dan kinerjanya.

Indikatornya jelas bukan cuma ada atau tidaknya penyerahan uang. Adanya pertemuan dengan orang yang berperkara, adanya pembicaraan yang kontradiktif dengan misi yang diemban lembaga sebagai penegak hukum dan pemberantas korupsi, apalagi menyangkut pembentukan skenario dalam upaya menghambat atau mengkanalisasi eskalasi pihak yang terlibat dalam kasus Nazarudin sejatinya jauh lebih substansial ketimbang soal kompensasi ada atau tidaknya penyerahan uang.

Jikapun publik menilai dari perspektif kode etik, maka adanya bukti pertemuan yang sudah diakui sejumlah pimpinan KPK terhadap Nazarudin jelas sudah menunjukkan adanya pelanggaran kode etik yang sangat serius. Tapi publik masih sangat bijaksana untuk menunggu hasil sidang komite etik dari hasil pemeriksaan semua pihak yang disebut Nazarudin.

Tapi apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Publik sudah menyaksikan bagaimana seorang ketua komite etik KPK telah melakukan pelanggaran etika dengan menyatakan sesuatu yang tidak patut untuk diungkapkan sebelum majelis komite melakukan sidang pelanggaran kode etik.

Pelanggaran etika tersebut bukan saja terkait pada tudingan kepada Nazarudin yang sudah keluar dari konteks pengujian dan penilaian etika terhadap pihak yang dimintai kesaksiannya, tapi juga pelanggaran tersebut juga terkait pada mekanisme dan sistem tugas penanganan pelanggaran kode etik pimpinan KPK yang seharusnya dikemukakan setelah semua kesaksian pihak-pihak yang relevan diuji dan dianalisis kemudian disimpulkan melalui proses persidangan komite yang dihadiri oleh seluruh anggota komite etik KPK yang lain.

Disisi lain, publik dan khususnya komisi III yang akan melakukan fit and proper test terhadap delapan 8 pimpinan calon KPK, termasuk ketua komite etik, Abdullah Hehamahua memperoleh pelajaran penting dari satu contoh kasus kinerja Abdullah Hehamahua itu.

Pelajaran penting tersebut adalah bahwa sosok pimpinan KPK memang seharusnya diisi oleh orang yang bukan saja diakui kredibilitas dan kapabilitasnya sebagai pimpinan KPK, namun juga bisa memilih calon pimpinan yang tidak memiliki vested interest dan bermental politisi (seharusnya bermental aparatur penegak hukum) serta mampu mengendalikan komunikasinya kepada publik dengan menahan diri untuk tidak mengobral pernyataan yang mendeskreditkan atau membela orang-orang yang sedang diperiksanya.

Ditengah concern-nya publik terhadap kompleks dan eskalatifnya pihak-pihak yang terlibat kasus Nazarudin, Pernyataan Abdulllah Hehamahua menunjukkan fakta ironi ditengah masyarakat bahwa komite etik justru melanggar etika. Ketidak profesionalan inilah yang kemudian menjadi asumsi baru, yaitu mungkinkah arah penuntasan kasus Nazarudin memang sudah terkondisikan untuk menyelamatkan pihak-pihak tertentu yang dituduh Nazarudin ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline