Latar belakang
Hukum adalah himpunan peraturan –peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat dan atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. Hukum itu berhubungan dengan manusia dalam masyarakat, membicarakan hukum sesungguhnya sama dengan membicarakan masyarakat. Membicarakan hukum tidak mungkin dilepaskan dari pembicaraan masyarakat dengan segala yang ada di dalamnya.
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karna itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri (2) petugas/penegak hukum (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum (4) kesadaran masyarakat.[1]
Pada umunya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya, apabila kesadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhanya juga rendah. Pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukum dalam masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat.
Diketahui bahwa tanpa bangkitnya kesadaran warga untuk secara suka dan rela mengikuti apa yang diperintahkan oleh hukum untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan, tidaklah bekerjanya hukum dalam kehidupan masyarakat akan dapat terwujud seperti yang diharap-harapkan. Ancaman sanksi sekeras apapun tidak selamanya terbukti dapat mengontrol perilaku subjek dengan sepenuhnya. Selalu saja ada celah dan kesempatan, sekecil apapun, yang akan dimanfaatkan oleh seorang subjek dengan resiko yang telah diperhitungkanya untuk menghindarkan diri dari control hukum yang berhakikat sebagai control eksternal itu.
Secara filosofis tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian, kedamaian berarti suatu keserasian antara ketertiban dan ketentraman. Pada segi ketertiban, lebih ditonjolkan kewajiban warga masyarakat. Sedangkan pada segi ketenteraman yang diutamakan adalah hak –haknya.[2]
Dengan melihat paparan diatas, dapat diambil pelajaran bahwasannya dalam segi ketetertiban, lebih ditekankan kewajiban bagi masyarakat untuk mematuhi, menaati, dan melaksanakan hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis atau hukum adat yang sudah menjadi menjadi kebiasaan bagi masyarakat setempat.
Akan tetapi pada kenyataannya, banyak masyarakat ataupun mahasiswa tidak melaksanakan perintah atau aturan-aturan tersebut. Mereka banyak melanggar peraturan peraturan yang telah ditetapkan, padahal sebagian dari mereka mengerti akan hukum dan peraturan –peraturan yang telah mereka langgar. Misalnya peraturan Undang –Undang No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkatan umum, pada pasal 292 telah dipaparkan bahwasannya ;
“SetiapOrang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kereta samping yang mengangkut penumpang lebih dari 2 (dua) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (9) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu pupiah)."
Bahwasannya dalam pasal tersebut memberikan pelajaran, khususnya bagi pengemudi dilarang untuk berboncengan lebih dari dua orang. Akan tetapi pada kenyataannya banyak masyarakat yang melanggar hal tersebut, dimulai dari para pelajar, mahasiswa hingga masyarakat. Untuk itu dalam pembahasan ini, saya akan membahas mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh mahasiswa yang menyimpang dan bertentangan dengan Undang Undang No 22 Tahun 2009 pasal 292 mengenai berboncengan lebih dari dua orang.
Dari banyaknya kalangan masyarakat maupun mahasiswa yang melakukan pelanggaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa UU. No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, banyak mengalami penyimpangan. Penyimpangan tersebut sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat khususnya mahasiswa. Jika dikaitkan dengan teori sosialisasi yang dikutip dari Edwin H. Sutherland, kebiasaan penyimpangan tersebut terjadi akibat dari pembelajaran masyarakat dari apa yang mereka lihat dalam kehidupan sehari -hari, yaitu berkaitan dengan penyimpangan tersebut. Mereka para pelanggar akan beranggapan bahwa penyimpangan tersebut diperbolehkan, karena banyak orang yang melakukannya. Mereka pun tak berfikir, tempat dimana mereka melanggar, meskipun di lingkungan kampus.