Lihat ke Halaman Asli

Laku Spritual Sang Jago Belehan di Pilkada Bantul

Diperbarui: 11 Desember 2015   13:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jago belehan adalah istilah yang berarti ayam jago yang siap untuk disembelih, dalam konteks Pilkada bisa diartikan calon yang hanya sebagai pelengkap dan tidak bakal menang. Itu pula status yang disandang Suharsono dia awal pencalonannya. Kini Suharsono menjadi bupati terpilih Kabupaten Bantul mengalahkan sang incumbent Sri Suryawidati, yang juga merupakan istri tokoh kuat dan mantan bupati Bantul dua periode Idham Samawi.

Bantul merupakan kabupaten bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan basis masa PDI-P yang kuat terutama sejak dipimpin Idham Samawi. Rakyat Bantul dari perkotaan sampai ke pelosok desa adalah pemilih tradisional PDI-P. Jadi pilkada Bantul dianggap hanya sebagai jalan bagi Sri Suryawidati untuk menjabat periode kedua kalinya, tanpa ada yang mampu menghalanginya. Bahkan ada yg memprediksi Sri Suryawidati akan seperti Risma di Surabaya.


Flashback ke belakang (kalau ke depan tentu namanya bukan flashback, hehehe...). Pada awalnya ada 14 PAC PDI-P yang mencalonkan Suharsono namun ditolak oleh sebagian elit partai dan DPP justru mengeluarkan rekomendasi agar mencalonkan Sri Suryawidati sang incumbent. Hal itu wajar karena Sri Suryawidati dianggap lebih populer dibanding Suharsono. Ternyata ke 14 pengurus PAC tersebut tetap konsisten mendukung Suharsono walau ada beberapa yang sampai dipecat karena dianggap tidak taat terhadap partai. Para pengurus tingkat kecamatan tersebut memiliki power di lapangan karena bisa langsung berinteraksi dengan para pemilih.

Dalam falsafah Jawa dipercaya seorang pemimpin harus mendapatkan “wahyu keprabon” yaitu restu dari alam untuk memimpin. Itu pula yang tampaknya diyakini Suharsono. Sebagai calon yang disebut jago belehan tidak membuatnya kecil hati dan minder, selain dia bergerak secara diam-diam memanfaatkan tim yang sudah terstruktur sampai ke tingkat paling bawah, dia juga berhubungan erat dengan para tokoh spiritual di Bantul, termasuk kyai dari ponpes Krapyak yang tersohor itu. Suharsono banyak menjalani laku seperti tirakat dan puasa, bahkan ada yang mengatakan dia puasa ngebleng (tidak makan, tidak minum, tidak tidur) 10 hari. Hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang dengan tingkat spiritualitas yang tinggi. Di jaman seperti ini orang tentu akan berpikir 1000x sebelum melakukan langkah spiritual berat seperti itu atau paling banter membayar orang untuk menjalani laku. Namun tidak untuk Suharsono, dia menjalani lakunya sendiri layaknya para calon adipati Jawa jaman dulu.

Hasilnya luar biasa, sang incumbent pun ditumbangkannya. Banyak yang terperangah, kaget, tidak percaya Suharsono bisa menang. Kemenangnya telah memporakporandakan prediksi selama ini. Tapi itulah realita yang terjadi. Terakhir kubu Sri Surwaditadi dengan ksatria mengakui keunggulan lawannya, menyatakan tidak akan menggugat ke MK, artinya tidak ditemukan kecurangan di balik kemenangan Suharsono. Yang unik ada pernyataan dari tim sukses Sri Suryawidati bahwa ada kekuatan besar di balik kemenangan Suharsono. Mungkin saja kekuatan besar itu berasal dari laku spiritual sang calon bupati yang telah berubah dari jago belehan menjadi sang kuda hitam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline