Lihat ke Halaman Asli

Aku dan Kakak, Tiga Belas Tahun yang Lalu

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merindukan tiba-tiba moment itu bersama kanda: 13 tahun yang lalu, saat itu usia kakak 12 tahun, aku 8 tahun, kakak duduk di kelas 6, dan aku masih kelas 2 eSde...  Waktu itu Pila dan Aan masih belum lahir, kami pikir kami hanya dua bersaudara. Hehe, Oia, waktu itu Kami pergi bersama ke area permandian (tempat yang selalu disukai anak-anak) tempatnya cukup jauh dari rumah, sangat jauh malah. Kami naik sepeda, aku duduk pada tiang sadel depan sepeda, kadang-kadang kalau  sudah capek, aku berpindah ke belakang berdiri pada pijakan yang mengantarai ban. Menegang bahu kakak. Lalu merasai angin menerbangkan rambutku, kakak kadang ngebut... Aku menikmatinya... Sambil menutup mata. Kadang-kadang kalau laju sepedanya biasa saja aku membentangkan tangan... Serunya.... Walau pun setelah pulang. Kami akan kena marah oleh Ummi, dua anak kecil pergi ke tempat jauh. Dan kau tahu siapa yang akan disalahkan, tentu saja kakak. Ummi selalu saja menghawatirkanku di manapun aku berada, aku memang tidak pernah jauh darinya. Aku yang selalu sakit- sakitan diperlakukan seperti barang yang sangat rapuh, Ummi sangat menjagaku, hati- hati dengan penuh kasih sayang. Hal itu yang membuat kakak selalu cemburu padaku. Jika ada makanan yang enak Ummi pasti selalu menyimpankan untukku dan menyembunyikannya untuk kakak. Kakak laki-laki katanya, tubuhnya pun sehat. Aku sakit-sakitan, susah makan, jadinya semua untukku. Jadi kakak selalu saja menggangguku, mengataiku kecil, mengejekku jelek, atau sekedar menarik rambutku lalu berlari. Cemburu tentu saja. Haha... Dan kau tahu, aku akan berteriak sangat kencang, hingga mungkin semua tetangga mendengar teriakanku. Dan tada... Ummi datang, membawa kayu. Kakak sudah lari terlebih dahulu, sambil mengejekku. Tangisku semakin menjadi, lalu aku yang kena pukul. Hm,,, peristiwa itu terjadi hampir setiap hari, bertengkar, tidak ada hari tanpa bertengkar. Kadang-kadang juga kami bertengkar di depan tv, kakak ingin menonton sepak bola, sedangkan aku ingin memonton kartun kesayanganku. Kakak memegang remot tv, dan aku di tombol tv. Awalnya kami akur saja, tapi lama-kelamaan, saat film kartunnya sementara seru-serunya kakak memencet remot sesuka hati. Aku akan kembali memindahkan channel ke film kartunku, lalu menatapnya sinis. Kakak memencet remot lagi, aku tak mau kalah, bersikukuh memencet tombol lagi dengan jengkel. Kakak tidak mau kalah, tanpa perasaan bersalah memindahkannya lagi, begitu terus-menerus, berulang-ulang sampai aku capek sendiri dan. Tut... Televisinya mati. Mataku sudah berkaca-kaca. Kakak mendekat, mengetok kepalaku. Gara-gara kamu sih, televisinya rusak! Tak tertahankan lagi, tangisku pecah, suaraku siap memecahkan gendang telinga.... Aku sangat kesal, kakak beranjak pergi begitu saja. Aku emosi, kuambil saja secara serampangan benda terdekat dariku, lalu kulemparkan pada kakak. Ternyata benda yang kulemparkan itu gunting, mengenai tepat mata kaki kakak, kakak meringis kakinya berdarah. Saat itu ibu datang dengan wajah merah padam, bagaimana tidak marah, ibu sementara memasak untuk kami, bukannya membantu, kami  malah sibuk bertengkar sedemikian rupa. Melihat kaki kakak yang berdarah, ibu menahan amarah lalu membalut kaki kakak. Melihat ibu mengobatinya aku yang meringis. Menatap iba pada kakak. Namun tidak jadi, tatapanku berubah kesal pada saat kakak memelototiku, sambil mulutnya berkomat-kamit tanpa suara, takut terdengar ibu "Tunggu pembalasanku" katanya sambil mengepalkan tinju. Tapi ibu segera menyadari ketegangan kami kembali. "Belum puas bertengkar, kalian ini seperti kucing dan tikus, tidak pernah akur." "Kalian tidak malu dengan tetangga, tidak kasihan pada ibu?" Kami terdiam tertunduk. "Nak, tv itu tidak murah harganya, Kamu Rul, kamu sudah besar sudah seharusnya kamu mengalah pada adik, lihat adikmu kecil begitu, sakit-sakian, seharusnya kamu menyayanginya." "Kamu, Ra, kalau tidak begitu sakit tidak usah menangisnya sampe berteriak-teriak gitu, semua tetannga mendengar, sampai lempar kakak pula, untung kakak tidak apa-apa. Kalau celaka bagaimana?" Kata ibu sambil memandangi aku dan kakak bergantian. "Bisa tidak nak, kalian sehari saja tidak bertengkar, tidak selamanya kalian selalu sama-sama, pada suatu hari kalian akan berpisah, punya kehidupan sendiri. Lalu saling merindukan." "Nak, ibu tidak menuntut apa-apa dari kalian cukup kalian akur." "Ra, sini!" Aku mendekat hati-hati masih sengungukan, minta maaf sama kakak." "Asrul juga, minta maaf sama ade" "Kakak, ade minta maaf." Kataku takut-takut melihat matanya" "Ia, kakak maafkan, maaf juga" Katanya cuek, tanpa melihat ke arahku" Ibu tersenyum, memeluk kami kemudian. "Untung Etta sedang tidak di rumah, bisa-bisa kalian kena marah seharian." Dan tigabelas tahun telah berlalu. Kakak sudah dengan kehidupannya sendiri. Setelah tamat eSeMa. Kakak berangkat ke kendari. Ikut bersama om, mendaftar menjadi polisi. Aku girang, artinya tidak akan ada lagi yang menggangguku. Yah, tigabelas tahun berlalu, kakak sudah menggapai cita-citanya, menjadi pak Polisi. Aku masih ingat lagi, tiga belas tahun yang lalu kakak yang nakal mengambil senjata om Akbar (polisi yang tingal di rumah) saat beliau tidak di rumah. Kakak yang nakal masuk ke kamarnya, mengambil pistol , tak ketinggalan borgol lalu memakai topi polisi... Huf,,, untung pistol itu tak berpeluru. Kalau tidak, mungkin nyawaku sudah melayang. Kami bermain polisi dan penjahat, aku menjadi penjahat. Kakak polisinya, dengan topi polisi yang kebesaran, sesekali menutupi dahi dan matanya. Aku penjahat, berakting jatuh kena tembak dan kakak akan memborgol tanganku. Dan aku selalu lepas, karena seberapa pun kakak, mempersempit borgolnya pergelangan tanganku jauh lebih kecil, aku selalu lepas... Kakak kembali mengejarku... Namun yah, selalu saja, jika aku bermain dengan kakak titik endingnya pasti akan selalu diakhiri dengan tangisanku yang fenomenal. Kini tiga belas tahun telah berlalu, adikmu telah tumbuh dewasa. Tenang, kalau nangis tidak bising lagi, tidak akan lagi melemparkan gunting pada kakak saat marah.  Kakak tidak akan bisa lagi menarik rambutku, hehe... Aku sudah pakai kerudung. Kakak tidak usah marah lagi, sekarang kalau dibonceng pakai motor,  karena memakai jilbab aku duduk style perempuan yang selalu kakak suruh. Dan bisa menulis tentang kisah-kisah lucu yang tidak akan pernah terlupa... Kakak sudah menikah dan punya anak. Menetap di Lassu-sua. Kolaka  Utara. Sebuah kota kecil yang tidak terlalu ramai, tapi cukup indah menurutku. Kakak menikah pada saat aku masih di semester dua. Aku sempat ngambek, merasakan kakakku direbut, uang kirimanku akan berkurang, dan lain hal. Sampai akhirnya kau sadar, kakak akan terus menjadi kakakku. Sampai kapan pun, hari ini aku rindu kakak...  Benar kata Ummi, ada saatnya kita berpisah, dan ada saatnya saling merindukan. Dan kenangan itu akan menjadi obat rindu yang paling mujarab setelah pertemuan. Sesekali akan membuat kita tertawa. Kakak masih ingat bukan? Aku rindu kakak. Oia, kakak juga sudah punya anak.. Haha, kakak sudah jadi bapak-bapak. Tunggu, berarti aku sudah jadi tante-tanten dong yah... Hehe, Aku suka itu, tiga belas tahun yang lalu kakak masih remaja tanggung yang  hobinya mengangguku. Sekarang kakak seorang ayah yang penuh tanggung jawab. Aku bangga pada kakak. Awal Februari, merindukan Kakak...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline