Lihat ke Halaman Asli

Bontocani, Negeri Kaya Potensi, Tapi Banyak Galaunya

Diperbarui: 4 Januari 2025   10:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu Objek Wisata Air Terjun di Kecamatan Bontocani

Di tengah hamparan hijau dan udara segar yang membuat paru-paru bersyukur, Bontocani berdiri sebagai salah satu kecamatan yang diam-diam menyimpan kekayaan luar biasa. Mulai dari potensi wisata, pertanian, hingga kekayaan budaya, semuanya ada di sini. Tapi anehnya, potensi ini seperti harta karun yang terkubur kita tahu ada, tapi tidak tahu kapan bakal digali. Sebenarnya bukan cuma alamnya yang terbengkalai, tapi juga harapan masyarakatnya.


Mari kita mulai dengan pariwisata. Alam Bontocani itu ibarat model catwalk yang belum di-makeover. Air terjun yang eksotis, bukit-bukit hijau yang menenangkan, dan gua-gua yang menanti dijelajahi. Tapi semua itu seperti dibiarkan teronggok tanpa polesan. Jalan menuju lokasi wisata lebih cocok untuk ajang rally ketimbang wisata keluarga. Pemerintah seolah bilang, "Mau jalan ke surga? Ya, harus berjuang dulu."

Hukum sebenarnya sudah menyiapkan panggung untuk kemajuan ini. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengamanatkan pembangunan wisata yang berkelanjutan. Tapi di Bontocani, panggung itu masih kosong. Mungkin karena pemainnya sibuk rapat, lupa kalau wisatawan tidak bisa jalan kaki sejauh itu tanpa cedera.

Kemudian ada dana desa, cerita yang tidak kalah seru. Setiap tahunnya, uang ini datang bak pahlawan super yang diharapkan membawa perubahan besar. Tapi hasilnya? Kadang proyek jalan buntu atau malah tidak pernah dimulai. Padahal, UU Desa (No. 6 Tahun 2014) sudah mengingatkan bahwa dana ini harus digunakan untuk pemberdayaan masyarakat. Sayangnya, yang terberdayakan justru rumor dan gosip tentang kemana uang itu pergi.

Dan pendidikan? Ah, ini yang paling bikin hati miris. Anak-anak di Bontocani sebenarnya punya impian besar. Tapi jarak sekolah yang jauh dan fasilitas yang terbatas sering kali memaksa mereka mengalah pada keadaan. Pasal 31 UUD 1945 jelas bilang setiap warga negara berhak atas pendidikan. Tapi kenyataannya, hak itu kadang terasa seperti undangan pesta yang hanya diterima sebagian orang.

Tak ketinggalan, politik di Bontocani juga tak kalah berwarna. Musim Pilkada sering kali menjadi ajang adu strategi, tapi sayangnya, netralitas aparat desa lebih sering jadi bahan diskusi ketimbang kenyataan. UU No. 10 Tahun 2016 sudah melarang mereka terlibat dalam kampanye, tapi godaan politik uang kadang terlalu sulit ditolak.

Bontocani sebenarnya punya semua yang dibutuhkan untuk berkembang. alam, sumber daya manusia, dan potensi ekonomi. Tapi selama hukum hanya jadi pajangan dan pembangunan lebih sering tertinggal, kita semua tahu siapa yang paling rugi: warga Bontocani sendiri.

Mungkin yang kita butuhkan bukan hanya regulasi yang lebih ketat, tapi juga kesadaran kolektif bahwa Bontocani tidak bisa dibiarkan jadi kisah "hampir sukses" selamanya. Ini bukan soal hukum saja, tapi soal keberanian untuk bangkit dan membuktikan bahwa Bontocani lebih dari sekadar potensi yang terlupakan.

Jadi, kapan kita mulai membuka lembaran baru? Atau kita tunggu lagi janji-janji pembangunan yang datang setiap lima tahun?

Pertanyaannya sekarang, apakah kita akan terus menonton Bontocani dari jauh sambil berharap perubahan datang dengan sendirinya? Atau kita mulai bergerak, membangun rumah sendiri sebelum keindahannya hanya tinggal cerita nostalgia?

Karena, seperti kata pepatah, "Rumput tetangga memang selalu lebih hijau." Tapi mungkin itu karena kita lupa menyiram halaman sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline