Lihat ke Halaman Asli

Andi Saddam Khusein

Sahabat semua

Selamat Jalan Kong Saki, Sang Penjaga Situs Buni

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14139886432108885378

[caption id="attachment_368447" align="aligncenter" width="640" caption="Sang Penjaga Situs Buni, Kong Sakiyudin"][/caption]

Hari ini, Rabu (22/10), tepat pukul 14.00 WIB kami mendapatkan kabar duka, yaitu berpulangnya salah seorang pria tua yang menjaga artefak dan fosil berusia ratusan tahun. Ya, beliau adalah Sakiyudin. Usianya terhenti di 61 akibat penyakit demam berdarah dan juga TB paru. Itu yang dikatakan Kepala Ruangan Tulip RSUD Kabupaten Bekasi, saat kami temui setengah jam setelah mendapat kabar kepergiannya. Sayangnya kami agak terlambat dan tidak dapat melihat jenazahnya untuk terakhir kalinya. Almarhum telah dibawa mobil jenazah ke rumah duka di Kampung Buni Pasar Emas, Desa Muara Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.

Mungkin sebagian besar bertanya siapa beliau. Orang Bekasi belum tentu tahu siapa beliau. Justru beberapa orang luar Bekasi tahu siapa beliau. Terutama para mahasiswa dan arkeolog yang pernah mengunjungi Situs Buni. Ya, beliau adalah seorang penjaga atau biasa juga disebut kuncen Situs Buni, sebuah situs dimana terdapat banyak fosil dan artefak yang usianya berabad-abad.

[caption id="attachment_368448" align="aligncenter" width="640" caption="Kong Saki tengah memperlihatkan pecahan gerabah yang dikumpulkannya pada salah satu ember"]

14139887531152122327

[/caption]

Beliau adalah satu-satunya orang yang peduli dan rajin untuk mengumpulkan artefak, lalu menyimpannya. Pertemuan pertama kami pada hari Minggu, 5 Januari 2014. Saat itu saya hendak memulai untuk menjelajahi Bekasi. Awalnya saya bertujuan untuk pergi ke Saung Rangon di Desa Cikedokan, Cikarang Barat. Namun, entah. Saat saya tidak sengaja googling dan menemukan kata Situs Buni Babelan, saya langsung tertarik untuk pergi kesana. Tuhan mengizinkan, kami pun bertemu. Berbincang. Lalu beliau mengajak saya mengelilingi areal kebun keluargannya.

"Disini masih banyak yang sengaja gak engkong gali, Cu," kata Kong Saki kepada saya. Beliau mengakui jika menggali semua yang ada di halamannya (luasnya sekitar 2000 meter persegi), rumahnya bakal penuh dan tidak muat menampung.

"Inilah yang engkong bisa lakukan, sebisanya aja," curhatnya kepada kami. "Habis mau lebih kita gak punya uang, pemerintah gak ngasih," lanjutnya.

Kong Saki memang berusaha semaksimalnya. Dulu di wilayah Situs Buni yang terbentang luas, banyak emas ditemukan. Puncaknya pada tahun 1970-an dimana pemburu emas dari segala penjuru ramai-ramai menggali tanah Kampung Buni Pasar Emas, Kampung Buni Wates dan Kampung Buni Pendayakan. Ironisnya emas itu bukan sekadar emas melainkan benda bernilai historis tinggi. Akhirnya benda itu berpindah tangan kepada tengkulak yang saat itu banyak di Pasar Buni. Dijual dengan harga biasa, tragis.

Terkendala biaya, Kong Saki suka sedih. Beliau mengaku pernah menemukan artefak emas, namun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terpaksa emas itu dijualnya. Dia sedih melakukan itu, namun apa daya.

Ada lagi cerita lain. Tetangganya pernah menemukan sebuah kalung emas berbentuk naga. Kong Saki pun ingin membeli itu untuk dimasukkan ke rumahnya dan disimpan, lagi-lagi Kong Saki terbentur biaya. Perih hatinya melihat kalung bersejarah tersebut melayang ke tangan tengkulak.

[caption id="attachment_368450" align="aligncenter" width="640" caption="Kong Saki mengajak kami untuk pergi menelusuri kebunnya. Banyak artefak dan fosil sengaja tidak diambil Kong Saki. Hal tersebut karena keterbatasan ruang di rumahnya."]

1413988853463006594

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline