Perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian yang timbul karena kesepakatan dua pihak atau lebih dengan tujuan timbulnya perikatan untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau disebut juga dengan perjanjian timbal balik dilihat dari aspek sifat dan akibat hukumnya, dan pada sisi lain disebut sebagai perjanjian bantuan.[1]
Sebagai perjanjian bantuan maka fungsinya adalah untuk mempersiapkan para pihak pada perjanjian utama, yang tujuan akhirnya adalah pada perjanjian pokoknya, yakni perjanjian jual beli. Sejalan dengan hal tersebut Herlien Budiono menjelaskan bahwa perjanjian bantuan sifatnya memperkuat perjanjian pokok dan keberadaannya pun hanya mungkin jika perjanjian pokoknya ada.[2]
Istilah PPJB dapat dijumpai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang menyamakan istilah PPJB, dengan istilah Perjanjian Pendahuluan Jual Beli, sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 angka 11 PP No. 12 Tahun 2021 yang menjelaskan Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan rumah deret yang dinyatakan dalam akta notaris.[3]
Selanjutnya istilah PPJB dalam praktik hukum kenotariatan dijumpai beberapa nama/sebutan pada awal akta yaitu: Pengikatan Jual Beli, Ikatan Jual Beli, Perjanjian Pengikatan Jual Beli atau dengan sebutan nama yang sangat singkat yaitu Perjanjian.[4]
PPJB Notariil merupakan perjanjian pokok yang memerlukan instrumen tambahan / ikutan untuk pelaksanaannya yakni dengan Akta Kuasa untuk Menjual, sehingga muncul sebutan Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang merupakan satu rangkaian perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak dihadapan Notaris. Sejalan dengan hal tersebut Habib Adjie dalam salah satu tulisannya berpendapat bahwa Akta PPJB dan Kuasa sering dibuat dalam transaksi hak atas tanah dengan alasan antara lain:
- Pembeli tidak ingin melakukan balik nama/ peralihan hak, dengan alasan ingin dijual lagi kepada pihak lain (meskipun dalam hal ini pembeli telah membayar lunas kepada penjual).
- Pembeli tidak ingin segera melakukan balik nama/ peralihan hak, dengan alasan belum punya uang untuk bayar pajak-pajak, (meskipun dalam hal ini pembeli telah membayar lunas kepada penjual)
Bertalian dengan PPJB dan Kuasa untuk Menjual, kedua akta Notariil tersebut sering disebut dengan PPJB Lunas. Dalam PPJB Lunas, fungsi akta Kuasa untuk Menjual dapat dilakukan kepada dirinya sendiri atau orang lain yang dikehendakinya sendiri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1792 KUH Perdata yang menjelaskan Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakn suatu urusan.
Akta PPJB Notariil dapat terjadi karena 2 (dua) hal yaitu PPJB Lunas dan PPJB Belum Lunas (Angsuran). Untuk PPJB Lunas wajib diikuti dengan Akta Kuasa. Sehubungan dengan dimungkinkannya Akta PPJB yang dibuat para pihak dicatatkan pada Kantor Pertanahan, maka Permen ATR No. 16 Tahun 2021, yang mengatur mengenai pengajuan permohonan pencatatan PPJB atas tanah terdaftar ke Kantor Pertanahan.