Lihat ke Halaman Asli

01.40

Diperbarui: 9 Januari 2024   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Untuk apa toh? Bukankah kita semua ini adalah binatang bermuka dua? Toh ujungnya yang kamu lakukan ke sesama itu hanya untuk kepentinganmu kan?" tegur Lara kepada Atman.

Atman termenung sejenak, sesuai dengan pemikirannya, memang manusia bisa dikatakan makhluk yang berwajah samar, entah, ia agaknya meyakini bahwa memang benar adanya.

"tapi man, bukankah itu yang menjadikan kita ini unik? Ya mungkin masuk akal jika ada sisi egois atau kemunafikkan pada kita, tapi bayangkan, tanpa kekurangan itu, kita tidak bisa mengetahui kemampuan kita, tidak tau arti melengkapi." sahut Ananda, memberi pandangan yang lain dari Lara.

"alah persetan saling melengkapi itu, hal-hal itu hanyalah bualan, itu hanya fiksi yang kita ciptakan, man, seumur hidupmu kapan terakhir kali kamu merasakan kebahagiaan dalam waktu yang lama? Kamu merasakan cinta, namun direnggut secepat kilat, kamu merasa aman dalam lingkunganmu, tapi siapa yang ada dalam kesendirian mu dulu? Bahkan keluarga? Yang kebanyakan orang merasa itu tempat terhidup bagi seorang jiwa, adakah kamu merasa hidup di sana? Orang yang kamu cintai di sana telah meninggalkan mu man, ia direnggut begitu saja tanpa pamit oleh semesta ini, nampaknya bukan hanya manusia yang munafik, seisi alam semesta pun begitu!" Maki Lara kepada Atman, mengingatkannya akan hal-hal yang sudah terjadi.

"Ra! Perhatikan ucapanmu! Tidakkah kamu menghargai apa yang Atman telah lalui? Proses jatuh dan bangun, datang dan pergi, hidup dan mati adalah hal yang wajar dalam dunia ini, Atman, coba kamu lihat itu dari gambaran yang lebih kecil lagi, bukankah kamu menikmatinya? Lagu-lagu syahdu dalam buaian harian cinta mu, basa-basi yang sebetulnya tidak perlu dalam keseharian itu, aroma masakan rumah di pagi hari, bukankah kamu mencintai itu man?"

"Persetan itu semua man, tidak ada gunanya hal kecil yang baik jika berakhir dalam lingkaran besar yang buruk, bukankah lebih baik jika seisi dunia terbakar bersama mu?"

Setelah pertanyaan itu, pikiran Atman berlari dari percakapan tersebut, perdebatan Lara dan Ananda hanya menjadi  lagu latar belakang dalam perjalanan rekaman memorinya, ia berlari liar dalam pikiran masa lalu, memikirkan apakah perkataan Lara sesungguhnya adalah kebenaran? Tapi ada sedikit perasaan yang menolak itu, Atman tidak tahu apa, mungkin ucapan Ananda ada benarnya juga, jadi, siapa yang benar? Mana yang benar? Dua hal tersebut menjadi perdebatan tersendiri dalam diri Atman.

"Sudah lah! Aku tidak tau mana yang benar dan salah, aku teringat cerita Satya dulu, aku pikir aku perlu melakukannya juga." Jawab Atman sebelum meninggalkan mereka.

Kemudian Atman beranjak pergi, dipikirannya tertuju satu tempat, stasiun kereta, tempat dimana banyak aktivitas manusia yang mungkin bisa membantu Atman menentukan pilihannya, dalam perjalanannya, pikiran Atman berkecamuk, teringat Kembali perasaan-perasaan yang sudah ditimbun dengan usaha keras oleh Atman.

Sesampainya di stasiun Atman mencari penjual kopi pinggir jalan, memesan kopi lalu mengeluarkan buku tulisnya, ia perlu mencurahkan isi pikiran dan perasaannya terlebih dahulu setelah diserang habis-habisan dalam perjalannya ke stasiun, mengeluarkan pena sebelum siap menulis puisi, memasang earphone dan memainkan lagu Nyala dari Sal priadi.

"Aku ingin jadi jantungmu dan berhenti semauku, agar kau tahu rasanya hampir mati

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline