Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan Doktor yang Penuh Perjuangan

Diperbarui: 26 Agustus 2018   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan doktor atau S3 terdengar sangat prestisius. Karena tingkat ini adalah tingkat tertinggi dalam pendidikan. Dua tingkat setelah sarjana. Satu tingkat setelah master. Di Indonesia sendiri, jumlahnya masih minim. Tahun 2017, dosen yang bergelar doktor: baru mencapai 31.000 orang. Untuk jabatan fungsional peneliti, tentunya jauh dibawah itu. Jumlah peneliti saja masih dibawah 10.000 orang. Untuk semua jenjang pendidikan: S1, S2, dan S3. Di LIPI saja, yang penelitinya ada 1.677 orang. Baru 334 orang bergelar doktor.

Anggapan bahwa pendidikan doktor sangat sulit. Mungkin jadi salah satu penyebab minimnya jumlah doktor. Entahlah.

Kenapa ada anggapan tersebut? Bisa jadi karena prosesnya yang cukup rumit. Yang butuh perjuangan. Misalnya program doktor di Indonesia. Yang ujian akhirnya cukup rumit. Ada ujian (sidang) tertutup. Juga sidang terbuka. Untuk mempertanggungjawabkan disertasinya. Dihadapan penguji. Yang rata-rata adalah guru besar. Yang bisa dilakukan berjam-jam. Yang cukup menguras energi. Belum lagi tentang penelitiannya. Ujian perkuliahannya. Tulisan ilmiahnya. Dan sebagainya.

Bagaimana dengan program doktor di luar negeri? Apakah cukup rumit juga? Saya ceritakan sesuai pengalaman saya. Untuk program doktor di Prancis. Dan juga Denmark. Karena saya cukup beruntung. Mengikuti program doktor. Yang double degree. Pada program Forest and Nature for Society (Fonaso). Yang dibiayai Komisi Uni Eropa. Yang dikoordinasikan oleh University of Copenhagen (KU). Melalui skema Erasmus Mundus.

Seleksi fellowship

Saya mengajukan fellowship ke Fonaso. Dengan mengirimkan dokumen-dokumen. Yang paling penting: resume penelitian doktor. Semacam idea concept paper (ICP). Untuk dievaluasi oleh tim Fonaso. Yang lolos evaluasi ini akan melanjutkan ke tahap berikutnya: wawancara.

Ada seratusan  ICP yg diterima Fonaso. Dari seluruh penjuru dunia. Hanya 18 orang yang dipanggil wawancara. Salah satunya saya. Pemberitahuannya lewat email. Yang isinya panggilan wawancara. Juga pemberitahuan calon supervisor. Dan juga co-supervisor. Masing-masing dari Prancis dan Denmark. Dalam email itu pun diminta: hubungi supervisor anda, secepatnya, untuk menulis proposal. Ya. Proposal doktoral untuk diujikan dalam wawancara. Yang akan dilaksanakan dua bulan setelah email tersebut.

Wawancara proposal dilakukan di Kopenhagen. Pada Februari 2014. Dihadapan 3 orang penguji. Dua profesor dan satu peneliti senior. Dari Denmark, Jerman, dan Prancis. Saya presentasi proposal selama 15 menit. Dilanjutkan tanya jawab dengan tiga penguji. Tanya jawab itu sekitar 1 jam. Alhamdulillah lancar.

Satu hari setelahnya. Ketika masih di Kopenhagen. Saya menerima email. Ada 6 orang dengan nilai tertinggi. Berdasarkan hasil wawancara kemarin. Yang berhak menerima tawaran fellowship. Salah satunya saya. Dan mereka menanyakan. Apakah saya bersedia menerima tawaran tersebut. Tentu saja: YA.

Beberapa hari setelahnya. Saya menerima dokumen kontrak dengan Fonaso. Salah satu isinya: program doktor harus dimulai dalam kurun waktu September 2014 - Februari 2015. Saya berkonsultasi dengan supervisor. Dan memutuskan untuk memulainya Februari 2015. Alasannya: saya akan membawa keluarga. Istri saya akan melahirkan anak kedua kami. Pada September 2014. Jadi lebih baik menunggu kedatangan anak kedua kami. Dan menunggu beberapa bulan. Sampai anak saya cukup kuat untuk perjalanan jauh.

Pendaftaran di Doctoral School

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline