Lihat ke Halaman Asli

Suban IV Lumbung Derita Muratara

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kekacauan di daerahku semakin tampak dan jelas, dengan ditetapkannya keputusan yang tentu melukai sebagian besar masyarakat Sumatera Selatan, terkhusus di Kab. Musi Rawas, karena sebuah objek sengketa politik yang dilakukan oleh sang penguasa berhati Isra’el di wilayah bersamboyan Bersatu Teguh di tengah pulau sumatera tersebut.

Dari janji – janji manis sang politikus yang hampir mirip dengan suara – suara merdu penyair ditambah lagi dengan berhasilnya seorang raja kecil dalam merangkai kata menjadi kalimat yang enak didengar, bak pujangga yang senang merayu, bak penyanyi yang sedang melantunkan nada – nada sendu untuk dijadikan pemukau orang banyak sehingga masyarakat yang menilai dalam hal itu dialah raja kecil yang hadir bahkan sebagai sang penyelamat ketertindasan ditengah gejolak yang dimainkan.

Diantara itu juga hadir sebagian masyarakat yang terbangun dari tidur – tidurnya yang pulas dan mulai membuka mata, lalu terperangah ditengah gejolak api yang membara itu ternyata hanya sebuah kobaran api diatas spiritus ditengah genangan air, tanpa bisa meninggalkan abu pada saat apinya padam. Mungkin begitulah sederhananya keadaan yang tergambar ditengah masyarakat musi rawas hari ini, karena dengan janji sang pemimpin untuk memekarkan bagian kabupaten Musi Rawas menjadi DOB dengan nama Musi Rawas Utara (MURATARA), maka rakyat harus melepaskan haknya dulu, kemudian rakyatpun ditelanjangi lagi dengan dirampasnya hak – hak mereka karena iming – iming DOB MURATARA akan segera terealisasi. Namun yang terjadi malahan sebuah DOB tidak terealisasi, Masyarakat malah merugi.

Kucuran hujanpun menyadarkan secara berjamaah, hujan air mata dipolosok sumatera telah menggoda jiwa – jiwa renta yang terbodohi oleh kepentingan dan korban syahwat politik sang pemimpin yang rakus, memantik menyalakan api diatas tumpukan kayu – kayu kering yang tentu awet apabila dimakan api. Tapi sudah hampir terlambat, meskipun ada pepatah yang mengatakan “tidak ada kata terlambat untuk berbuat”, namun kenyataan pahit itu haruslah dirasakan oleh jiwa – jiwa ksatria yang terbius dengan tiupan angin syurga dari pintu neraka. Sehingga gejolak barulah yang timbul dan sekarang jugalah saatnya menentang dan melawan ketidak adilan, karena telah tertancap duri di ulu hati, sehingga sakit ketika bernafas, akhirnya baying – baying kekalahanpun semakin menjelma dalam penglihatan sehingga gerakan yang terjadi semakin melamban. Niat hati ingin menenggak dan meminum susu langsung dari sumbernya, namun yang terjadi malahan menenggak pil pahit yang belum dimengerti obat apa yang sedang diminum.

Kekuasaan telah menyuplai kekuatan – kekuatan syetan dan telah merasuki jiwa – jiwa kosong tanpa kendali, amanah disalahgunakan, teriakan kesakitan tak didengarkan, dan bahkan jeritan tangisanpun serasa music dialunkan, sehingga tidak ada kebosanan untuk dan niat untuk menghentikan suara – suara sesungguhnya bising tersebut. Muratara disengketakan, suban IV disayembarakan, masyarakat disengsesarakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline