ANALISA KASUS KERUSUHAN SARA TARAKAN TAHUN 2010
- LATAR BELAKANG
Jika kita melihat sejarah bangsa Indonesia, maka kita akan tahu bahwa Indonesia dari sebelum merdeka terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan budaya, ada suku Jawa, Aceh, Batak, Melayu, Sunda, Dayak, Bugis, dan lain-lain. Dari seluruh suku bangsa tersebut semuanya kemudian bersatu melawan penjajahan yang ada di Indonesia. Setelah merdeka, timbul perdebatan antara Soekarno dan Syahrir mengenai bentuk negara apakah sebuah negara republik kesatuan atau negara federal dengan mempertimbangkan banyaknya suku bangsa tersebut. Akhirnya diputuskan bahwa bentuk negara kita adalah negara kesatuan dengan maksud agar beragam suku bangsa yang tinggal di Indonesia dapat bersatu memperkokoh daya tangkal Indonesia.
Keragaman suku bangsa ini selain membawa keuntungan ternyata juga mememuncukan banyak masalah, terutama masalah yang berakar pada paham primordialisme yang berlebih. Paham kesukuan ini sering menyebabkan terjadinya konflik antar suku bangsa karena masing-masing suku ingin mempertahankan eksistensinya. Seperti yang terjadi di Tarakan pada tahun 2010 lalu, kerusuhan antar etnis telah menyebabkan banyaknya korban jiwa yang jatuh dan terganggunya stabilitas keamanan.
Tarakan merupakan kota yang kaya akan minyak, bahkan dari zaman Belanda kota ini mendapatkan perhatian yang lebih karena sumber dayanya. Kekayaan Tarakan yang meupakan kota industri ini kemudian mengundang banyak pendatang dari luar Tarakan untuk datang dan mencari pekerjaan. Membludaknya pendatang ini perlahan-lahan menyingkirkan keberadaan suku asli Tarakan yaitu suku Tidung. Kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi antara penduduk asli dan pendatang menjelma menjadi sebuah bara api yang mudah disulut ketika ada permasalahan kecil yang timbul. Seperti yang terjadi pada tangal 26 September 2010 yaitu kerusuhan antara suku Tidung dengan suku Bugis Letta yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, dirusaknya bangunan, serta lumpuhnya kegiatan perekonomian di Tarakan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai apa penyebab dari kasus kerusuhan Tarakan ini, penulis kemudian membuat sebuah studi analisa ke dalam sebuah makalah berjudul "Analisa Kasus Kerusuhan SARA Tarakan Tahun 2010"
- RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian singkat yang penulis uraikan dalam latar belakang masalah di atas, penulis merasa perlu untuk merumuskan permasalahan dengan maksud agar pembahasan dapat menjadi lebih fokus dan mempunyai batasan yang jelas. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1) Faktor apa yang menyebabkan mendorong munculnya konflik di Tarakan yang berujung pada tawuran antara suku Tidung dengan suku Bugis Letta?
2) Bagaimana solusi jangka panjang untuk mencegah situasi tersebut terulang kembali di Tarakan?
III. PEMBAHASAN
Tarakan merupakan sebuah kota industri di provinsi Kalimantan Timur yang multi etnis. Daya tarik ekonominya menarik banyak orang dari luar Tarakan untuk datang dan bekerja. Namun kondisi multi etnis ini kemudian menjadi sebuah potensi gangguan keamanan karena dewasa ini suku Tidung mulai tergeser oleh pendatang yang menempatkan suku Tidung sebagai suku kelas bawah lower class dalam kelas sosial di daerahnya sendiri. Hal ini terjadi karena secara sosial dan ekonomi suku Tidung memang tertinggal dari suku pendatang. Kesenjangan sosial ekonomi inilah yang kemudian menimbulkan rasa iri dan dapat menjadi potensi pertikaian antar suku.
Senin dini hari tanggal 27 September 2010 di Perum Korpri Tarakan, Kalimantan Timur dua kelompok warga di kota Tarakan terlibat bentrokan massal. Hal ini dipicu akibat tewasnya Abdullah bin H. Salim terkena tusukan senjata tajam yang dilakukan oleh warga suku Bugis Letta. Sebelumnya Abdul Rahmadsyah yang merupakan anak Abdullah dikeroyok oleh sekelompok pemuda Bugis Letta dan melaporkan kejadian itu kepada ayahnya. Kemudian Abdullah beserta 6 orang keluarga dari Suku Tidung mendatangi sebuah rumah yang diduga sebagai rumah tinggal satu diantara pengeroyok di Perum Korpri , Tarakan Utara dengan membawa senjata tajam seperti mandau, tombak, dan parang. Penghuni rumah yang mengetahui bahwa rumahnya akan diserang segera mempersenjatai diri dengan senjata tajam berupa badik dan parang. Kemudian terjadilah perkelahian antara kelompok Abdullah dengan penghuni rumah tersebut yang mengakibatkan Abdullah meninggal dunia terkena sabetan senjata tajam. 30 menit kemudian terjadi penyerangan dan pengrusakan terhadap rumah milik Noodin (Warga Suku Bugis Letta) oleh 50 orang warga suku Tidung bersenjata mandau, parang, dan tombak. Kerusuhan kemudian masih berlanjut dengan serangkaian aksi pembakaran rumah, pengrusakan properti, dan pengeroyokan terhadap sejumlah warga Bugis Letta. [1]
Pukul 20.30 Wita hingga 22.30 Wita, berlangsung pertemuan yang dihadiri unsur pemda setempat, seperti Wali Kota Tarakan, Sekda Kota Tarakan, Dandim Tarakan, Dirintelkam Polda Kaltim, Dansat Brimob Polda Kaltim, Wadir Reskrim Polda Kaltim, serta perwakilan dari suku Bugis dan suku Tidung di Kantor Camat Tarakan Utara. Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa masalah yang terjadi adalah masalah individu. Para pihak bertikai sepakat menyerahkan kasus tersebut pada proses hukum yang berlaku. Polisi segera bergerak mencari pelaku. Semua tokoh dari elemen-elemen masyarakat memberikan pemahaman kepada warganya agar dapat menahan diri.