Lihat ke Halaman Asli

Seruni

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cuplikan cerpen saya yang berjudul Seruni dalam antologi cerpen “Setiap anak Terlahir Istimewa” Untuk kali yang pertama aku melihat batu nisan Seruni. Sama sekali tak kukenali dia sebelum ini. Memang, kedatanganku ke Lawang bukan untuk pergi ke tempat pemakaman ini, lebih-lebih untuk mengunjungi makam Seruni. Sengaja aku pergi ke kota kecil ini untuk survey tempat pelatihan, sebuah vila tua yang asri di sudut kota. Kebetulan pemiliknya ada bersamaku sekarang. Kutemani dia mengunjungi makam anaknya, Seruni. Hanya dua kali bertemu, bukan menjadi alasan kami untuk canggung. Justru perkenalan yang tak terduga ini menjadikan kami akrab. Mungkin karena kami aktif di yayasan yang sama. Mungkin juga, karena kami mengagumi orang yang sama, Bung Karno. Atau karena kami memiliki latar belakang yang sama, kami sama-sama menekuni bidang kedokteran. Mungkin beberapa persaman itu yang bisa membuat kami merasa akrab. Lagi pula, wanita yang usianya sudah paruh baya ini, memiliki pengetahuan umum yang luas, termasuk tentang kebiasaan anak muda, jadi bersamanya aku tidak merasa memiliki jurang pemisah yang jauh. “Saya terlalu sibuk dengan urusan saya, saya sudah lama tidak mengunjunginya,” dia membuka pembicaraan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline