Lihat ke Halaman Asli

Nasib Pekerja Informal di Tengah Gegap Gempita May Day

Diperbarui: 1 Mei 2019   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

buruh.co

Pada tanggal 1 Mei setiap tahunnya kita dan pekerja sedunia memperingati hari buruh atau May Day. Dalam perjalanan sejarahnya, gerakan buruh dan kesadaran berserikat tumbuh dan meluas di Indonesia seiring dengan industrialisasi pada abad ke 20. Di Indonesia dan belahan dunia lain, hari buruh diperingati dengan melakukan aksi untuk menyuarakan tuntutan-tuntutan mengenai hak dasar pekerja seperti persoalan upah dan jaminan tenaga kerja.

Sekilas tuntutan tersebut memang terdengar klasik dan menjadi tuntutan utama setiap perayaan May Day. Seiring dengan revolusi industri 4.0 yang mendorong pesatnya perkembangan industri digital dan digitalisasi dalam beragam industri, hal ini memicu persoalan buruh hari ini menjadi lebih kompleks karena masifnya perubahan corak produksi dan diferensiasi industri.  

Namun, cepatnya derap langkah adaptasi pekerja formal menyongsong  berbagai macam perubahan terkait skill dan persoalan ketenagakerjaan dalam revolusi industri 4.0 tak sebanding dengan langkah pekerja informal yang masih gamang dalam menapaki jalan untuk mendapat perindungan dalam berbagai aspek seperti perlindungan dan hak-hak dasar pekerja seperti jaminan sosial.

Bargaining position yang dimiliki oleh pekerja informal yang bekerja pada pemberi kerja juga cukup lemah karena relasi pekerjaan yang dibangun antara pekerja dan pemberi kerja cenderung bersifat kekerabatan dan tidak memiliki kesepakatan yang pasti. Pekerja informal acap kali bekerja over time sesuai kehendak pemberi kerja dan setiap waktu pekerja selalu memiliki resiko untuk kehilangan pekerjaannya karena kesalahan yang bersifat subjektif yang dapat dituduhkan oleh si pemberi kerja. Dalam situasi ini tak banyak yang dapat dilakukan oleh pekerja informal untuk menuntut keadilan dari si pemberi kerja selain terus berusaha menyambung asa untuk mencari pekerjaan baru.

Meskipun pekerja formal yang tergabung dalam banyak serikat pekerja memiliki gaung yang lebih terdengar ketimbang pekerja informal, namun dari data ketenagakerjaan yang dirilis oleh BPS pada tahun 2018 lalu menunjukan bahwa dari 127,07 juta orang yang bekerja pada tahun 2018, sebanyak 53,09 juta orang merupakan pekerja formal sementara sisanya 73,98 juta orang merupakan pekerja informal. Hal ini menunjukan bahwa pekerja informal di Indonesia memiliki jumlah yang lebih dominan dan membutuhkan perhatian.

Lalu siapakah yang dapat dikategorikan sebagi pekerja informal? Secara konseptual pekerja informal dapat mewakili pekerja keluarga tidak diupah (unpaid family workers), pekerja mandiri (own account workers), dan pekerja lepas. Jika mengacu pada definisi secara konseptual tersebut, maka sangat banyak profesi yang masuk dalam kategori tersebut mulai dari buruh bangunan, pekerja produksi usaha rumahan keluarga, supir angkutan umum, pedagang kaki lima hingga jurnalis lepas dan masih banyak lainnya. International Labour Organization (ILO) pada tahun 2010 menyebut pekerja informal sebagai pekerja rentan dimana mereka tidak mendapatkan hak dasar layaknya pekerja formal seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, jam kerja serta tunjangan lainnya. Kerentanan tersebut juga semakin terlihat jelas dengan rendahnya produktivitas dan pendapatan yang jauh lebih rendah.

Pemerintah sebenarnya telah membuat peraturan yang mengatur tentang jaminan kerja bagi pekerja informal yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2015, dimana para pekerja informal ini berhak atas program Jaminan Keselamatan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) di bawah naungan BPJS Ketenagakerjaan. Program JKK akan menjamin biaya pengangkutan, rehabilitasi, perawatan, santunan cacat tetap sebagian dan total, hingga santunan berkala. Sementara itu, JKM memberikan biaya pemakaman dan santunan berkala. 

Namun karena pekerja informal masuk dalam kategori pekerja mandiri atau pekerja bukan penerima upah (BPU) karena melakukan kegiatan ekonomi secara mandiri dan tidak terikat relasi pekerjaan secara formal, maka untuk menjadi peserta diwajibkan untuk membayar iuran sebesar Rp 16.800 per bulan. Meski nominal iuran terlihat tidak begitu besar, namun bagi pekerja informal yang sebagian besar waktunya habis untuk bekerja dengan pendapatan yang relatif tak menentu tentu hal tersebut dirasa cukup membebani. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah masih belum serius dalam memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi pekerja informal yang jumlahnya tidak sedikit.

Sebagai pembuat regulasi pemerintah hendaknya membuat payung hukum dan peraturan yang mempermudah pekerja di sektor informal untuk mengakses jaminan sosial dengan skema pembuatan yang mudah dan iuran yang tidak membebani. Terlebih masih banyak pekerja di sektor informal yang bekerja pada pekerjaan yang rentan seperti pekerja informal di bidang konstruksi yang rentan mengalami kecelakaan kerja, pekerja informal di industri keramik dan gerabah yang rentan mengidap ISPA, sopir angkutan yang aktivitas kerjanya rentan mengalami kecelakaan lalu lintas serta masih banyak lainnya. Mengingat tingginya resiko kerja yang dihadapi pekerja informal baik itu resiko secara langsung seperti kecelakaan kerja maupun resiko jangka panjang seperti penyakit akibat kerja (PAK) sebagai dampak dari keterpaparan pekerja terhadap bahaya yang ada di lingkungan pekerjaan, kita tak bisa menutup mata terhadap kondisi mereka, karena mereka adalah bagian dari kita, ada di sekitar kita dan mungkin bagian dari teman dan keluarga kita. 

Selamat Hari Pekerja!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline