Lihat ke Halaman Asli

Sisi Inovatif yang Destruktif dalam Cengkeraman "Sharing Economy"

Diperbarui: 5 Januari 2018   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

futurelab.assaabloy.com

Perkembangan digitalisasi dalam berbagai lini kehidupan terus mengalir deras tak terhentikan. Tak heran jika kalimat "semua ada dalam genggaman" memang benar adanya. Pertumbuhan pengguna internet yang didominasi oleh pengguna smartphone memiliki andil dalam hal ini. Kemajuan dan kemudahan menjadi pilar utama dalam perkembangan digitalisasi saat ini. Jika dulu orang harus bersusah payah pergi ke terminal atau di perempatan jalan raya untuk mendapat akses transportasi, sekarang tinggal mengunduh aplikasi dan dengan satu kali klik moda transportasi yang dibutuhkan telah siap menjemput didepan pintu rumah anda. 

Tak jauh berbeda dengan berbelanja, jika dahulu anda harus menyiapkan waktu luang dan merogoh kocek untuk ongkos bepergian menuju mall kini anda tak perlu repot untuk melakukan hal itu karena beragam aplikasi berbelanja online atau lazim disebut E-Commerce telah menjamur dan siap menyediakan beragam kebutuhan anda. Selain itu, E-commerce juga membantu anda untuk dapat memesan barang di wilayah yang berjauhan yang mungkin tidak tersedia di kota anda. 

Dalam kerangka Sharing Economy yang dirilis oleh Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat yang berjudul "The Sharing Economy Issues Facing Platforms, Participant and Regylators" , sharing economy merupakan sebuah marketplace yang dikelilingi oleh tiga stakeholders utama yaitu platform sebagai tempat berlangsungnya sharing economy dimana platform bertugas untuk mempertemukan penjual dan pembeli secara efektif dan efisien yang memberikan keuntungan dari dua pihak yang dipertemukan.  

Clayton M Cristensen dan Joseph Bower  dalam artikelnya di Harvard Business Review, yang berjudul "Disruptive Technologies: Catching the Wave" (1995) mengatakan bahwa Era inovasi disruptif (disruptive innovation) adalah era di mana banyak bermunculan  inovasi yang membantu pelaku bisnis untuk menciptakan  pasar baru, yang pada tataran operasional acapkali malah mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan sistem yang terdahulu. 

Salah satu bentuk nyata dari tataran operasional yang terganggu dalam inovasi disruptif ini adalah model-model konvensional yang sarat modal dan kurang efisien yang pada akhirnya tersingkir oleh model bisnis digital yang menawarkan efisiensi dan kemudahan. Pada model kovensional dalam bentuk toko di pusat perbelanjaan, pemilik toko harus mengeluarkan cost yang tak sedikit mulai dari untuk menyewa tempat, biaya pegawai hingga biaya listrik. Dengan model bisnis yang sarat akan modal ini, pemilik toko tentunya akan berhitung dengan cermat untuk dapat mencover seluruh kebutuhan bisnis sekaligus mengkalkulasi profit dari bisnisnya yang pada akhirnya semuanya akan dibebankan pada harga produk yang dijual. 

Lain halnya dengan E-Commerce dimana penjual yang menjadi mitra dari aplikasi E-commerce tak perlu mengeluarkan cost untuk sewa toko, biaya pegawai dan biaya listrik yang pada akhirnya penjual dapat memberikan harga yang lebih kompetitif dibanding dengan barang di toko. Selain itu kemudahan dan keamanan dalam bertransaksi juga menjadi pertimbangan sendiri bagi konsumen. Tak heran jika E-Commerce yang sudah menguasai pasar online di Indonesia seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada dan masih banyak lagi perlahan menggerogoti gerai-gerai ritel konvensional yang telah lebih dulu hadir. 

Tak jauh berbeda dengan layanan berbelanja, konsep sharing economy yang ditawarkan dalam bidang transportasi online juga tak kalah agresif dalam menguasai pasar. Sebagai contoh, tumbuh pesatnya Gojek, Grab dan Uber di Indonesia telah membuat industri transportasi konvensional kewalahan dalam menghadapi persaingan. Salah satu bentuk persaingan nyata adalah munculnya perang harga dimana transportasi online yang membentuk pola kemitraan dengan pengemudi dapat memberikan harga yang lebih miring dibanding transportasi konvensional. Mengapa demikian? Kita ambil contoh pertarungan antara taksi online dengan taksi konvensional. 

Taksi online yang merupakan mobil pribadi berpelat hitam memiliki pajak yang berbeda dengan taksi konvensional yang notabene adalah transportasi umum yang harus dibebankan biaya uji KIR dan pajak yang beda dengan mobil berplat hitam. Selain itu, kendaraan taksi online juga dimiliki oleh mitra pengemudi dimana perawatan rutin, bahan bakar dan ganti oli seluruhnya ditanggung sendiri oleh mitra pengemudi sehingga perusahaan penyedia jasa aplikasi tak perlu mengeluarkan cost untuk operasional kendaraan seperti yang dilakukan oleh perusahaan taksi konvensional. 

Perusahaan aplikasi transportasi online juga memegang kendali penuh atas regulasi tarif sehingga transportasi online dapat memberikan tarif yang lebih miring ketimbang transportasi konvensional. Tak heran jika banyak perusahaan transportasi konvensional seperti taksi, metromini, bajaj dan kopaja mengalami penurunan omzet yang drastis bahkan tak sedikit juga yang pada akhirnya gulung tikar karena tak mampu bertahan dalam arus persaingan yang terlalu kompetitif antara model konvensional dan model digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline