Lihat ke Halaman Asli

Api Cemburu di Tengah Polemik Transportasi "Online"

Diperbarui: 30 Maret 2017   06:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Polemik keberadaan transportasi online yang dianggap mengganggu putaran roda angkutan konvensional kian meluas. Gejolak dari awak angkutan konvensional pun kian hari kian sulit dibendung. Mulai dari intervensi pada kebijakan yang akhirnya melahirkan PM 32 yang terlalu prematur hingga gesekan di lapangan yang memicu konflik horizontal. Tak bisa dipungkiri lagi, penetrasi angkutan berbasis aplikasi di beberapa kota di Indonesia memang sangat pesat karena kehadirannya yang menjawab keluh kesah pengguna jasa transportasi umum yang identik dengan ketidaknyamanan dan arogansi jalanan.

Namun, sambutan hangat dari konsumen akan inovasi transportasi yang efisien justru disambut panas oleh awak angkutan konvensional. Dengan dalih persaingan yang tidak sehat dari segi tarif & regulasi para awak konvensional pun turun ke jalan dan berupaya untuk melakukan intervensi untuk membuat kebijakan yang tak bersahabat bagi awak transportasi online.

Para awak angkutan konvensional sebetulnya tersaingi dengan tarif dan fleksibilitas ojek online yang murah dan simple. Namun, karena sejatinya dalam UU no 22 tahun 2009 kategori angkutan umum adalah kendaraan yang memiliki roda tiga, empat dan seterusnya berarti ojek online tidak termasuk dalam kategori angkutan umum karena beroda dua. Oleh karenanya taksi online yang notabene beroda empat dan masuk dalam kategori angkutan yang tak memiliki izin dan KIR dikambinghitamkan sebagai biang keladi dari persaingan yg tak sehat antara angkutan konvensional dan transportasi online.

Coba aja liat, pelajar yg biasanya kalo berangkat sekolah naek angkot semenjak ada ojek online beralih ke ojek online kan, bukan ke grabcar atau sejenisnya? 


Pekerja yg mau ke stasiun dari rumah yg dulunya naik angkot beralihnya ke ojek online kan, bukan ke grabcar? 


Lalu Walikota Depok mengeluarkan peraturan yang lebih timpang lagi, yaitu melarang ojek online untuk beroperasi diwilayah yang dilalui angkot. Pertanyaannya, jalanan di Depok mana yang luput dari lintasan angkot? 


Atau peraturan larangan ojek online itu hanya sebatas obat penenang bagi awak angkutan konvensional agar tak ada gejolak lagi seperti di wilayah Tangerang dan Bogor sebelumnya? 


Saya rasa obat penenang itu cukup baik untuk meredam pihak-pihak yang bergejolak karena kecemburuan yang membabi buta selama ini.
Tapi pertanyaannya lagi, sampai kapan obat penenang ini harus dikonsumsi?
Ah entahlah ikuti saja jalan ceritanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline