Lihat ke Halaman Asli

Andang Masnur

Komisioner

Proporsional Tertutup, Oligarki dan Pembatasan Partisipasi

Diperbarui: 26 Juni 2020   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pemilihan Sistem Proporsional Tertutup (Gbr: Edit dari tirto.id dan detikOto) 

Evaluasi sistem pemilu terus dilakukan oleh bangsa ini untuk berbenah ke arah yang lebih baik. Penyusunan regulasi sebagai landasan dan payung hukum dalam melaksanakan perbaikan tersebut terus dilakukan. Draf Undang-Undang Pemilu (RUU) Pemilu juga sedang dalam tahap pembahasan. Sebagai bagian dari perbaikan dan hasil evalusi dari UU Nomor 7 tahun 2017 dan pelaksanaan Pemilu 2019 yang lalu. 

Jika melihat secara detail pasal demi pasal yang disajikan sebagai desain pelaksanaan Pemilu selanjutnya maka salah satu yang berbeda dari beberapa pemilu sebelumnya adalah pada bagian kedua sistem Pemilu anggota DPR Pasal 206 Ayat (1). Dituliskan bahwa "Pemilu untuk memilih Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup".

Kilas Balik Sistem Kepemiluan

Melihat sejarah perjalanan sistem kepemiluan yang dilakukan oleh Indonesia memang beberapa kali terjadi perubahan. Khususnya untuk sistem pemilu pada anggota DPR dan DPRD pada zaman orde baru memang menggunakan sistem proporsional tertutup. 

Yang artinya bahwa pada surat suara yang diterima oleh pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya berisi tanda gambar partai. Sistem ini terakhir digunakan pada Pemilu tahun 1999 berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1999. 

Kemudian berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2003, sistem proporsional terbuka mulai dilakukan. Pada surat suara kita akan mendapati tanda gambar partai dan daftar calon legislatif. 

Hanya saja penentuan siapa yang akan duduk sebagai anggota legislatif terpilih sesuai dengan nomor urut caleg tersebut. Artinya peluang besar bagi caleg yang akan duduk adalah caleg dengan nomor urut paling atas. Hal tersebut kemudian dievaluasi dan mendapat perubahan pada pemilu tahun 2009, 2014 dan 2019. 

Tiga pemilu terakhir mempraktekkan sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Meskipun memang merupakan tantangan tersendiri terhadap rumitnya rekapitulasi yang dilakukan saat pemilu dilaksanakan, tetapi inilah konsekuensi dari perubahan keterbukaan yang dianut pada pemilu kita.

Oligarki Partai

Banyak kalangan yang kemudian menyesalkan berubahnya dalam draf RUU sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup ini. Dalih tentang semangat meminimalisir "money potilic" yang terjadi saat pemilu adalah tidak tepat. Justru hal ini adalah sebagai bentuk kemunduran pada sistem pemilu kita. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline