Sebagaimana ketentuan dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 167 ayat (1) dikatakan bahwa Pemilu digelar 5 tahun sekali. Maka sesuai dengan ketentuan tersebut Pemilu akan digelar tahun 2024 lagi.
Pesta demokrasi yang digadang-gadang sebagai Pemilu serentak untuk semua jenjang pemilihan dari pemilihan legislatif, presiden dan wakil presiden dan juga direncanakan pemilihan kepala daerah atau pilkada Bupati/Wali kota dan Gubernur digelar serentak. Tapi apakah sistem dan penyelenggara kita telah siap apabila semua pemilihan ini digabung di tahun yang sama?
Tentu kita masih mengingat dengan jelas bagaimana Pemilu serentak untuk pertama kalinya digelar dengan menggabungkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan. Meskipun secara keseluruhan penyelenggaraan sukses terlaksana, tetapi tidak dapat kita napikkan bahwa ada beberapa catatan yang menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan kedepannya.
Pada tulisan kali ini saya ingin mengomentari tiga hal penting terhadap arah dan bentuk pemilihan kedepannya, yakni; 1). Urgensi revisi UU Pilkada tahun 2016, 2). Issue pengembalian pilkada kepada DPRD, dan 3). Rencana Pemilihan Umum serentak 2024.
Pertama, tentang urgensi revisi UU Pilkada No. 10 tahun 2016. Bahwa sesuai dengan rencana awal yang tertuang dalam UU Pilkada ini bahwa Pilkada setelah tahun 2020 ini akan digelar serentak lagi di tahun 2024 sangat tidak tepat. Bahkan rencana penggabungan Pemilu dan Pilkada serentak di tahun 2024 ini berpotensi menyebabkan kekacauan.
Begitu kata yang diberikan oleh pemerhati demokrasi di Indonesia Titi Anggaraini dalam sebuah wawancara dengan kumparan.com. Hal ini juga sekaligus menanggapi rencana Pilkada serentak tahun 2022 oleh Komisi Independen Pemilu (KIP) Aceh di 23 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Aceh. Hal ini didasari karena akhir masa jabatan (AMJ) kepala daerah mulai dari gubernur, bupati dan wali kota se-Aceh akan berakhir pada tahun 2022.
Jika kita melihat sebagian besar AMJ kepala daerah khususnya Gubernur dan Wakil Gubernur di Indonesia akan ada yang berakhir sebelum tahun 2024 yaitu sebanyak 7 Provinsi di tahun 2022 dan 16 Provinsi 2023. Hal ini kemudian yang mendasari Perludem mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi untuk melihat kembali gand design Pilkada Serentak 2020 dan 2024.
Karena jika kita melihat berakhirnya masa jabatan para kepala daerah baik gubernur, bupati dan wali kota sebelum tahun 2024, maka tentu di sejumlah daerah kepemimpinannya akan dilaksanakan oleh Pelaksana Tugas atau Plt Kepala Daerah.
Tentu hal ini mencederai nilai demokrasi seperti yang tertuang dalam UU Nomor 10 tahun 2016 perubahan atas UU Nomor 1 tahun 2015 Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan 5 tahun sekali secara serentak. Belum lagi jika kita berbicara dengan kemungkinan kepincangan pemerintahan dibanyak daerah yang tidak memiliki kepala daerah definitif.
Melihat hal-hal tersebut diatas maka sangatlah pantas jika semua elemen baik pemerhati demokrasi, lembaga negara eksekutif dan legislatif untuk meninjau kembali dan merevisi UU Pilkada sehingga Pilkada di tahun 2022 dapat terlaksana demi nilai demokrasi dan tetap menjaga amanah rakyat.
Kedua, tentang issue mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Hal yang pertama mendengar berita ini adalah tentu kesedihan yang luar biasa. Sebab hal tersebut adalah bentuk dari kemunduran demokrasi. Bagaimana tidak, kita telah menjalani fase dimana kualitas kepemiluan kita yang digelar secara langsung semakin hari semakin baik.