Ruangan di balik pintu kayu berlabel RCUS itu tidak bisa dibilang luas. Ukurannya kurang lebih 6 x 5 meter saja. Seperti ruangan kantor, meja-meja, komputer, rak, dan lemari jadi penghuni mati ruangan itu. Benda-benda dan perabotan ditata ‘sekena’nya mengikuti lekuk-lekuk ruangan yang terbatas. Meski demikian, ada satu meja panjang yang menjadi titik temu mereka yang suka membaca, berdiskusi, meneliti, atau sekedar sharing informasi. Di tengah mereka, sering kali buku-buku dibiarkan bertumpuk karena terlalu sering keluar masuk enam lemari besar di belakang meja.
Ibarat oase di padang pasir, enam lemari itu menyimpan koleksi judul buku yang mungkin hanya bisa ditemukan di situ. Mayoritas, judul-judul koleksinya bertemakan perkotaan, lingkungan, dan hal-hal yang masih beririsan. Itulah kira-kira yang akan ditemui apabila mengunjungi perpustakaan milik Rujak Center for Urban Studies (RCUS), sebuah LSM di Jakarta yang fokus pada masalah perkotaan.
Sejak berdiri pada Mei 2010, RCUS memang berorientasi menyelesaikan masalah perkotaan melalui prakarsa dan partisipasi aktif warga. Jika masalah perkotaan umumnya adalah tentang statistik dan proyeksi kependudukan, maka RCUS menambahkan pengetahuan tentang kehidupan kota itu sendiri sebagai fokus orientasinya. Makanya, buku-buku di RCUS yang bakal ditemui tidak sebatas buku-buku statistik kota, perencanaan kota, atau lingkungan saja.
Jangan heran, orang-orang yang ada dibalik pendirian RCUS ialah mereka yang berangkat dari pengalaman dan latar belakang profesional di bidang perkotaan dan isu-isu urban. Pendiri sekaligus direktur RCUS, Marco Kusumawijaya dikenal sebagai arsitek, urbanis, dan pakar tata kota yang kerap dimintai pendapat soal isu perkotaan dan lingkungan. Menurut Marco, bicara mengenai perkotaan, saai ini sangat banyak yang masih menjadi hal langka, misalnya perencanaan kota yang berhubungan dengan kesenian. Makanya, namanya urban studies. Tujuannya tentu mempelajari kota secara lebih luas dan interdisipliner.
Coba saja telaah rak buku demi rak buku yang ada di RCUS. Siapa saja yang berasal dari latar belakang arsitektur atau planologi, di sinilah gudangnya bahan bacaan menarik. Judul-judul buku tebal seperti buku Pertimbangan Ekologis, Environmental and Natural Resources Economics, atau Dream Green keluaran ‘global urbanist thinktank’ The Why Factory pastinya layak menjadi bahan incaran.
Bahkan, jika termasuk yang awam pada hal-hal berbau perkotaan dan kaum urban pun banyak buku menarik yang bicara mengenai kota dari beragam sudut pandang. Misalnya, ekologi yang berkaitan dengan arkeologi, perdagangan, seni, nasionalisme, atau pun input lain soal kasus-kasus pembangunan atau perusakan alam lingkungan di Indonesia.
Ada pula buku-buku yang memperlihatkan kota-kota dari penjuru nusantara, bahkan dunia. Banyak buku yang bercerita seluk beluk kota-kota seperti Yogyakarta, Solo, Semarang, Makassar dan lainnya. Buku-buku tentang kota ini ternyata juga lahir dari program yang digalakkan RCUS, yakni mendukung berbagai penerbit melahirkan buku-buku perkotaan. Banyaknya koleksi buku kota ini membuat RCUS jadi tempat yang direkomendasikan untu mncari buku-buku perkotaan.
Selain buku-buku bergenre perkotaan, buku-buku sosial dan seni pun menjejali tiga lemari lainnya yang ada di sana. Buku-buku menarik dari berbagai bidang ilmu sosial seperti filsafat, komunikasi, ekonomi, dan sejarah juga bisa ditemukan di lemari paling ujung. Sedangkan, buku-buku dari beragam bidang seni seperti novel, photobook, roman, puisi, bisa ditemui di dua lemari pertama. Beberapa koleksi yang tidak boleh dipinjam karena sulit dicari, yaitu tiga jilid A History of Philosophy-nya Frederick Copleston atau buku riwayat Raden Saleh: The Beginning of Modern Indonesian Painting yang ditandai stiker putih. Stiker putih ini sebagai tanda buku hanya bisa dibaca di tempat. Biasanya, buku-buku berstiker putih tersebut adalah buku yang langka, sulit diperoleh karena mahal atau hasil pemberian, dan atau koleksi Marco sendiri yang sudah dipunyainya sejak masa kuliah di luar negeri dulu.
Ada juga beberapa koleksi buku yang ditulis sendiri oleh Marco, antara lain seperti Kota Rumah Kita, Jakarta Metropolis Tunggang Langgang, atau buku referensi tebal Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World yang terdiri dari tiga volume berharga USD 900. Tentunya, keberadaan buku-buku mahal itu sangat membantu dan menguntungkan bukan?
Marco mengakui, keberadaan perpustakaan RCUS memang agak terpencil dan jarang orang tahu. Maklum, Perpustakaan RCUS bukanlah public library dan genrenya pun segmented. Sounding tentang perpustakaan dan koleksi buku, cuma dilakukan Marco lewat twitter pribadinya maupun website RCUS. Makanya, biasanya banyak yang tahu RCUS secara tidak sengaja. Beberapa yang sering berkunjung biasanya sudah memantapkan tujuan mencari buku perkotaan. Biasanya dari kalangan anak muda, mahasiswa, atau yang sedang S2. Ada juga pengunjung yang sekedar penasaran, lalu mampir.
Sayangnya, sampai saat ini RCUS masih agak kewalahan mengatur koleksi buku di perpustakaannya dan tidak ada perawatan khusus untuk semua koleksinya. Cukup ditaruh di rak dan menerapkan sistem keanggotaan yang ingin meminjamnya keluar. Marco juga terus mengupayakan update buku terbaru secara reguler dan bisa bekerja sama dengan penerbit manapun. Pokoknya, kata Marco, jika buku itu penting, maka akan RCUS beli atau kalau bisa meminta kepada pihak yang mengeluarkannya.