Hal yang paling sulit aku rasa ketika di alam persekolahan adalah, saat harus mengingat dan menghapal pelajaran sejarah. Entahlah, rasanya otak ini serasa tersumbat ketika harus mengingati berbagai peristiwa zaman sebelum merdeka, masa sebelum moderen juga saat harus dilengkapi dengan menghapal tahun dan bulan kejadian lengkap. Rasanya, betul-betul beku otak di kepalaku. Semakin lama, aku baru tersadar bahwa sejarah bukan untuk diingat atau hanya dihapal sementara saja. Tapi, sejarah adalah untuk dipahami. Rabu pagi, 23 Desember 2009. Aku masih berada di Bukittinggi. Seperti biasa, saat pagi adalah saat duduk tenang di depan layar kaca televisi, menyaksikan acara berita di Metro TV. Sesekali, aku juga sambil mengobrol dengan beberapa sahabat melalui handphone. Lagi asyik-asyik ngobrol sama teman, tiba-tiba aku merasa ada kelainan dengan kursi yang kududuki. Entah hanya perasaanku, atau apa. Kursi yang aku duduki serasa bergerak. Awalnya, hanya sekejap. Meyakinkan apa yang aku rasa, aku segera menutup handphone. Pelan-pelan, memperhatikan ruangan sekitar. Astagfirullah... Tiba-tiba televisi bergoyang kekanan dan kekiri, sedang bingkai-bingkai foto di dinding juga bergerak kesana kemari. Innalillahi... Gempa kecil melanda Bukittinggi pagi itu. Ada bayang ketakutan menghantui diri. Seumur-umur, aku hanya sekali merasakan gempa. Dulu sekali, ketika masih kecil. Dan, itulah kali kedua aku merasakan gempa. Hanya beberapa saat gempa itu. Tapi, sudah membuat lemas seluruh badanku. Padahal, rencananya, siang itu aku berniat jalan-jalan bersama anak Etek Yurti. Alhamdulilah, gempa itu skalanya kecil saja dan tidak begitu lama. Etek Yurti Risau, karena kita mau keluar siang harinya. Hujan pun tak berhenti sejak pagi hari. Alhamdulilah, menjelang tengah hari, huja reda. Niat keluar Akhirnya terlaksana. Siangnya, aku pergi dengan anaknya Etek Yurti menuju Panorama. Etek Yurti pesan, supaya kami tak usah masuk ke Lobang jepang saat di Panorama. Ternyata jaraknya tidak begitu jauh dari rumah Etek Yurti. Setelah berada beberapa hari di Bukittinggi, hari itu, untuk pertama kalinya aku menuju ke pusat kota. Cukup bersih dan baliho besar-besar dengan tulisan "Bukittinggi Kota Pariwisata" terpampang jelas di tiga persimpangan jalan (lupa, dua atau tiga yah...?? :D). Tak lama kemudian kami sampai di objek wisata, Taman Panorama. Di situ ada beberapa lokasi wisata. Lobang Jepang dan melihat keindahan sungai Ngarai Sianok yang kering. Kami langsung menuju ke Lobang Jepang. Sampai di sana, sudah ada beberapa wisatawan yang hendak masuk ke dalamnya. Beberapa rombongan keluarga, dari Malaysia yang sedang mengambil gambar di situ. Setelah puas mengambil gambar baru mereka beranjak memasuki Lobang Jepang. Dipandu, oleh seorang guide lelaki, memudahkan perjalanan, aku mengikuti mereka. Dengan membayar, RM.5/orang. Hanya aku yang bayar, sedang anak etek Yurti sendiri tak bayar. Sebaik masuk ke dalamnya, gulita menyapa kami. Rupanya sedang mengalami perbaikan jadi, lampu belum bisa dinyalakan. Tiada pencahayaan. meskipun sang guide membawa lampu tapi, ia sudah berjarak beberapa meter di depan sana. Alhamdulilah, ada juga cahaya lilin dari seorang rakan guide tadi. Tapi,itu tak lama, sang rakan guide tadi juga mendahului jalannya. Berjalan dalam gelap. Kalau dulu aku hanya mempelajari sejarah kini, ada suasana lain saat aku harus memasuki sendiri bekas sejarah. Lobang Jepang, berada di bawah kedalaman 40 meter, begitulah ujar seorang guide. Ia lincah sekali menerangkan berbagai sisi dan seluk beluk Lobang Jepang. Ditemukan pada tahun 1946 ujarnya, pasca merdeka. Di dalamnya, kita bisa menemukan berbagai pintu-pintu jeruji besi. Ujar sang guide, di pintu-pintu pertama adalah tempat menyimpan amunisi laskar Jepang. Dan disel pintu jeruji besi lainnya,sang guide menunjukan kalau hendak di bangun studio. Untuk menayangkan sejarah dan kisah Lobang jepang, juga tentang negara Jepang. Selanjutnya, adalah jeruji besi yang akan dijadikan tempat miniature bekas barang-barang yang dipakai bekas para romusa (tempat makan yang terbuat dari batok kelapa, tempat minum, yang terbuat dari buluh bambu etc...). Sel-sel jeruji besi banyak sekali ditemukan. Cukup ngeri berada di bawah situ. Udara dingin menyeruak setiap langkah kami semakin mendalam ke dalam goa (aku lebih pantas menyebutnya goa) Sang guide, masih fasih menerangkan satu demi satu sejarahnya. Sepertinya, Ia sudah biasa sekali. Kalau melihat kedalamnya, aku rasa sudah banyak sekali perubahan di dalamnya. Tidak merubah bentuk asalnya memang tapi, dalam gua tersebut dinding-dindingnya terlihat lebih rapi. Kami juga dibawa ketempat di mana para romusa menikmati hidangannya (konon, sewaktu baru ditemukan batok kelapa dan buluh bambu berserak di dalamnya) Dan semakin masuk ke dalam, kami dibawa ke beberapa sel di mana tempat tersebut untuk menahan para romusa yang enggan melakukan kerja (Ternyata berat sekali perjuangan para pendahaulu kita). Sang guide juga menjanjikan kami akan membawa kesebuah "dapur". Entah kenapa, dia begitu menekankan kata "dapur". Sampai saja kami di "dapur" tadi, sang guide menyajikan cerita yang begitu menyedihkan. Rupanya, disitu bukan "dapur" sembarang "dapur" Dulu kala, disitulah para romusa mengalami berbagai penyiksaan yang enggan berbuat kerja atau terkadang banyak juga yang sedang sakit disiksa dan dianiaya. Kemudian, mayatnya di lemparkan ke lembah sungai Ngarai Sianok (Innalillahi... ngeri mendengarnya). Ada sedikit lubang kecil di situ. Guide bilang, dulu lubang itu besar. Tapi demi keamanan para pengunjung, akhirnya lobang itu ditutup dan hanya menyisakan sedikit saja. Ada kengerian menyayat hati, terbayang begitu susahnya perjuangan para pahlawan kita dulu. Kerja paksa, aniaya, seolah menjadi makanan sehari-harinya. Fiuh... Sungguh tak terbayang... Kami kembali diajak mengelilingi ruangan. Selanjutnya, tak banyak tempat lagi yang kami kunjungi. Ujar guide, ada 3 persoalan yang belum terjawab hingga kini yaitu, 1. berapa banyak tenaga romusa yang dikerahkan untuk membuat lobang, 2. Siapa pengasasnya(orang Jepang tentunya, dan 3. kemana larinya para pendiri tersebut setelah pasca merdeka?. (Wallahu'alam) Itulah, sekilas perjalanan ku ke Lobang Jepang. Ada kelainan saat mempelajari sejarah melalui buku dan melalui kenyataan, menyaksikan sendiri bekas-bekasnya. Di bawah situ, sejuk sekali. Aku membayangkan bagaiman para romusa itu melakukan kerja. Sungguh tak terbayang badan yang sejuk, perut yang kelaparan dan mungkin, dulu juga tiada penerangan lampu. Sekali lagi, sungguh tak terbayang kesusahan para pendahulu kita sebelum meraih merdeka. Betapa bersyukurnya aku, terlahir pasca merdeka. Meskipun tertanya-tanya apa yang sudah kuberi kepada, negara....??? :(( [caption id="attachment_144270" align="aligncenter" width="655" caption="Ada yang mau datang lagi kesini...???? (aku pengen lagi.. :D)"][/caption] [caption id="attachment_144276" align="aligncenter" width="655" caption="Tampak depan... Beberapa huruf telah hilang, ditelan tangan-tangan jahil.."][/caption] [caption id="attachment_144278" align="aligncenter" width="655" caption="Terusan Ngarai Siaonk, dari sebelah kanan"][/caption] [caption id="attachment_144282" align="aligncenter" width="655" caption="Inilah Ngarai Sianok yang sesungguhnya. Tidak ada airnya. Ibu majikan bilang, beberapa ratus tahun dahulu, saat gunung merapi meletus, lahar api bersimbah disini..."][/caption] [caption id="attachment_144284" align="aligncenter" width="655" caption="hasil karya lukisan yang diperjualbelikan"][/caption] [caption id="attachment_144287" align="aligncenter" width="549" caption="Ini Anaz sama beruk, bukan gorila :D"][/caption] [caption id="attachment_144291" align="aligncenter" width="450" caption="Ini Emak beruk sama anaknya :D"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H