Fenomena xenoglosofilia, sebuah kondisi psikologis yang merujuk pada ketertarikan berlebihan terhadap bahasa asing, memberikan gambaran menarik tentang hubungan antara bahasa, identitas, dan kekuasaan. Seseorang yang mengalami xenoglosofilia seringkali memiliki dorongan kuat untuk mempelajari, menguasai, dan menggunakan bahasa asing bahkan tanpa alasan fungsional yang jelas. Di dunia politik, fenomena ini bisa dikaitkan dengan cara politisi menggunakan bahasa asing atau istilah teknis yang sulit dimengerti oleh publik untuk menciptakan kesan tertentu, seperti kecerdasan, prestise, atau status sosial mereka.
Xenoglosofilia dapat dipahami sebagai ketertarikan yang kuat terhadap bahasa asing (Lanin, 2018). Fenomena ini bisa dilihat sebagai bentuk penyimpangan dari pembelajaran bahasa karena individu yang mengalami xenoglosofilia tidak hanya mempelajari bahasa asing secara normal, tetapi juga memiliki dorongan atau kebutuhan untuk berbicara dalam bahasa-bahasa tersebut meskipun mereka tidak menguasai sepenuhnya. Ketertarikan ini mungkin timbul karena perasaan identitas yang ingin dibangun atau bisa juga sebagai respons terhadap pengalaman psikologis ketika seseorang berada di luar kendali pikirannya sendiri untuk memproses bahasa yang ada di dalam otaknya.
Dari sudut pandang psikologis, fenomena xenoglosofilia bisa dihubungkan dengan kebutuhan untuk mengidentifikasi diri dengan budaya atau kelompok tertentu yang menggunakan bahasa tersebut. Seseorang yang mengalami xenoglosofilia seringkali merasa bahwa bahasa asing yang mereka pelajari atau gunakan menjadi simbol status atau identitas yang lebih tinggi. Ini terkait dengan teori psikologi sosial ketika individu berusaha membangun dan menegaskan identitas mereka dalam hubungan dengan orang lain. Menggunakan bahasa asing sering kali dianggap sebagai simbol dari kecerdasan, keterpelajaran, dan kemampuan untuk terhubung dengan dunia global.
Penggunaan bahasa asing dalam politik adalah fenomena yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, terutama seiring meluasnya perkembangan teknologi. Politikus sering menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh publik mereka untuk tujuan memanipulasi rakyat. Bahasa asing atau istilah teknis yang sulit dipahami sering digunakan untuk menciptakan kesan bahwa pembicara adalah individu yang terpelajar. Pemilihan kata menjadi hal yang sangat krusial karena politikus kerap menggunakan kata-kata tertentu, terkhusus kata bermakna positif untuk menimbulkan citra yang mendukung agenda politik mereka. Sementara itu, mereka menggunakan kata negatif untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Politikus yang berbicara dalam bahasa asing atau menggunakan istilah teknis yang rumit cenderung berusaha membangun citra diri yang lebih unggul dari audiens mereka. Penggunaan bahasa asing berfungsi sebagai simbol kekuasaan dan kecerdasan melalui pemilihan kata dan frasa yang sulit dimengerti oleh banyak orang kemudian dimaksudkan untuk menciptakan jarak sosial antara pembicara dan pendengar. Seperti halnya fenomena xenoglosofilia, yaitu bahasa asing menjadi alat untuk membangun identitas sosial tertentu. Dalam politik, bahasa asing digunakan untuk menegaskan status sosial dan intelektual politisi di mata publik.
Apabila ditilik melalui kajian semiotika, bahasa dianggap sebagai sistem tanda yang terdiri dari dua elemen utama: signifier (penanda) dan signified (petanda). Penanda adalah bentuk fisik atau kata yang digunakan, sedangkan petanda adalah makna yang terkandung dalam kata tersebut. Melalui kajian ini, setiap kata, frasa, atau tanda yang digunakan dalam berkomunikasi memiliki makna yang lebih luas yang bisa dibentuk dan dimanipulasi untuk tujuan tertentu. Dalam konteks xenoglosofilia dan penggunaan bahasa oleh politikus, bahasa asing berfungsi sebagai tanda yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun dan mengkonstruksi makna sosial yang lebih dalam.
Ketika seorang politikus berbicara dalam bahasa asing, kata-kata yang digunakan berfungsi sebagai signifier yang merujuk pada makna sosial tertentu, yaitu citra kecerdasan. Menurut beberapa audiens, penggunaan bahasa asing ini bisa menimbulkan rasa kagum atau ketertarikan terhadap pembicara karena mereka dapat mengasosiasikan penggunaan bahasa tersebut dengan pengetahuan yang lebih luas dan serta menyerap kemampuan komunikasi dengan orang lain dari berbagai penjuru dunia. Namun, bagi sebagian besar audiens yang tidak memahami bahasa tersebut, tanda yang dihasilkan oleh kata-kata ini lebih berkaitan dengan "simbol status" daripada makna asli dari kata-kata tersebut. Inilah yang dimaksud dengan "manipulasi tanda" dalam semiotika ketika makna yang dihasilkan oleh penggunaan bahasa tidak hanya bergantung pada pemahaman langsung, tetapi juga pada persepsi sosial yang diciptakan melalui bahasa itu sendiri.
Bahasa menjadi sarana utama untuk menyalurkan kepentingan politik saat ini, terlebih lagi melalui maraknya penggunaan media sosial untuk menyebarkan berita terkini. Bahasa yang digunakan politikus cenderung diperhalus dengan tidak hanya melibatkan diksi, tetapi juga melibatkan pemberitaan palsu untuk memperkuat ambisinya. Menurut Murniah (2023), rekayasa bahasa yang ada di dalam dunia politik dapat mengacaukan sistem demokrasi di dalam negara ini. Rakyat yang kurang peka terhadap gaya bahasa manipulatif politikus dapat menjadi mangsa dari lingkaran ini sehingga dapat memengaruhi hasil penyelarasan dari sebuah kebijakan.
Penggunaan istilah asing dalam dunia politik, yang ditujukan untuk memperkuat citra profesional dari seorang politisi, dapat pula diartikan sebagai bentuk manipulasi bahasa. Politisi memanfaatkan kata-kata ini untuk menyembunyikan makna mendalam yang terkadang tidak sesuai dengan kenyataannya. Dengan begitu, politikus dapat memengaruhi audiens untuk menerima ide atau kebijakan mereka tanpa memberikan pertanyaan lebih detail karena tidak mengetahui arti dari bahasa yang digunakan atau karena bahasa tersebut terdengar lebih modern. Berikut ini dipaparkan beberapa kata asing yang termasuk dalam fenomena xenoglosofilia serta kerap diucapkan oleh politikus ketika menyampaikan gagasannya.
Buzzer
Buzzer berasal dari bahasa Inggris, yaitu buzz yang berarti 'berdengung' atau 'bergumam.' Dalam politik Indonesia, kata ini merujuk pada orang atau kelompok yang bekerja untuk memengaruhi opini publik melalui media sosial. Melalui istilah ini, politisi atau tim kampanye dapat menghadirkan kesan bahwa mereka bergerak dalam tingkat yang lebih profesional padahal ini adalah sebuah bentuk manipulasi media yang tidak disadari oleh khalayak.