Lihat ke Halaman Asli

Analisis Pandangan Aliran Positivism Hukum dan Sosilogical Jurisprudence Atas Kasus Warisan Antara Ibu dan Anak di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB)

Diperbarui: 2 Oktober 2024   02:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Anasya Hening N.I
NIM  : 222111239

Kasus hukum ekonomi syariah mengenai sengketa warisan antara ibu dan anak di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kasus ini melibatkan Kalsum (60 tahun) dan anaknya, yang saling menggugat terkait pembagian harta warisan dari almarhum suami Kalsum. Konflik ini berujung pada laporan polisi dan tuduhan penggelapan harta warisan senilai ratusan juta rupiah. Perselisihan ini mencerminkan tantangan dalam penerapan hukum waris Islam, yang kadang memicu konflik keluarga meskipun aturan-aturannya telah diatur dalam syariah.

Terdapat beberapa kaidah hukum syariah yang relevan, khususnya terkait hukum waris dalam Islam:

  • Pembagian Warisan dalam Hukum Islam
  • Hak dan Kewajiban Ahli Waris
    Ahli waris, seperti anak dan ibu, memiliki hak untuk mendapatkan bagian mereka. Namun, hak tersebut juga disertai kewajiban untuk melaksanakan pembagian sesuai ketentuan syariah tanpa melanggar hak pihak lain.

  • Pengelolaan Harta Warisan Sebelum Pembagian
    Sebelum warisan dibagikan, ada kewajiban untuk melunasi utang almarhum dan menyelesaikan wasiat (jika ada) sesuai syariah. Apabila salah satu pihak menggunakan atau mengelola harta tanpa kesepakatan seluruh ahli waris, hal ini bisa dianggap sebagai penggelapan.

  • Larangan Sengketa dan Fitnah dalam Pembagian Harta
    Syariah sangat menekankan pentingnya kerukunan keluarga dan mencegah perselisihan terkait harta. Sengketa mengenai harta warisan harus diselesaikan secara damai dan adil, menghindari fitnah, tuduhan, atau penggelapan yang merusak hubungan keluarga.

  • Penggunaan Lembaga Peradilan Syariah

Dalam hal terjadi perselisihan, Islam mendorong penyelesaian melalui musyawarah atau melalui lembaga peradilan syariah agar sengketa dapat diselesaikan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam.

Kaidah-kaidah ini mencakup aspek keadilan, transparansi, dan tanggung jawab moral serta legal dari para ahli waris untuk menjaga keharmonisan keluarga dalam pembagian warisan.

Nama hukum yang terkait dengan kasus adalah sebagai berikut:

  • Hukum Waris Islam (Faraid)

Mengatur pembagian harta peninggalan seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya, sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan hadits, terutama Surah An-Nisa ayat 11 dan 12.

  • Hukum Keluarga Islam

Mengatur hubungan antaranggota keluarga, termasuk dalam hal warisan, hak-hak ahli waris, dan penyelesaian perselisihan keluarga sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

  • Hukum Perdata Islam

Dalam konteks Indonesia, hukum perdata Islam diterapkan dalam persoalan warisan di bawah yurisdiksi pengadilan agama, yang mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI).

  • Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI menjadi pedoman bagi Pengadilan Agama di Indonesia dalam menyelesaikan sengketa warisan, yang merupakan hukum positif bagi umat Islam di Indonesia terkait hukum perkawinan, kewarisan, dan wakaf.

  • Hukum Pengelolaan Harta Warisan

Mengatur kewajiban pelunasan utang dan penyelesaian wasiat sebelum pembagian harta kepada ahli waris, sesuai dengan prinsip dalam syariah yang menekankan keadilan dan tanggung jawab.

  • Hukum Pidana Penggelapan (KUHP Pasal 372)

Jika ada indikasi penggelapan harta warisan, perkara ini bisa dikaitkan dengan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia, yang mengatur tentang tindak pidana penggelapan.

Terdapat beberapa aturan hukum yang terkait baik dari hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia. Berikut adalah aturan-aturan hukum yang relevan:

  • Aturan Hukum Waris Islam (Faraid)

Surah An-Nisa' Ayat 11 dan 12: Mengatur ketentuan pembagian warisan kepada ahli waris, termasuk bagian untuk anak laki-laki dan perempuan, serta orang tua. Ibu mendapatkan bagian 1/6 jika almarhum meninggalkan anak, sementara anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari anak perempuan.

  • Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah rujukan hukum positif bagi umat Islam di Indonesia dalam hal warisan. Beberapa pasal penting dalam KHI terkait sengketa warisan adalah:

Pasal 176 KHI: Mengatur bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari anak perempuan dalam pembagian warisan.

Pasal 177 KHI: Menetapkan bahwa ibu berhak mendapatkan 1/6 bagian dari harta warisan jika almarhum meninggalkan anak.

Pasal 191 KHI: Sebelum pembagian harta warisan, segala utang dan wasiat dari almarhum harus diselesaikan terlebih dahulu.

  • Aturan Pengelolaan Harta Warisan

Sebelum dilakukan pembagian warisan, ada aturan dalam hukum Islam yang mewajibkan pelunasan utang dan pemenuhan wasiat almarhum. Hal ini untuk menjaga agar harta yang dibagikan kepada ahli waris sudah bersih dari kewajiban yang tertinggal.


Dalam menganalisis kasus sengketa warisan antara ibu dan anak di Lombok dalam konteks hukum ekonomi syariah, aliran positivisme hukum dan sociological jurisprudence akan memberikan dua perspektif yang berbeda. Berikut pandangan masing-masing aliran:

Pandangan Aliran Positivisme Hukum:

Aliran positivisme hukum berfokus pada hukum yang tertulis dan formal, tanpa mempertimbangkan aspek sosial atau moral. Para pendukung positivisme hukum, seperti John Austin dan Hans Kelsen, akan melihat kasus ini dari sudut pandang peraturan hukum yang berlaku, terlepas dari konteks sosial atau dampak pada masyarakat.

Pandangan Aliran Sociological Jurisprudence:

Aliran sociological jurisprudence, yang dipelopori oleh Roscoe Pound, melihat hukum tidak hanya sebagai aturan tertulis, tetapi juga sebagai alat untuk mengatur interaksi sosial dan mencapai keadilan dalam masyarakat. Aliran ini lebih menekankan pentingnya melihat dampak sosial dari penerapan hukum serta memahami dinamika sosial yang memengaruhi hukum.

Kesimpulan:

Positivisme hukum akan menekankan kepatuhan terhadap aturan formal seperti KHI dan KUHP, tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau emosional dalam kasus tersebut. Sociological jurisprudence akan menganalisis kasus ini dalam konteks yang lebih luas, dengan fokus pada keadilan sosial, dinamika keluarga, dan dampak sosial dari penerapan hukum, serta melihat hukum sebagai alat untuk mencapai harmoni sosial. Dua pendekatan ini memberikan perspektif yang berbeda, di mana positivisme fokus pada legalitas formal, sedangkan sociological jurisprudence menekankan keadilan sosial dan fungsi hukum dalam masyarakat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline