Lihat ke Halaman Asli

Papua Punya...

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berawal Dari Masinam Terbitlah Terang

Perlombaan menulis artikel di masa SMA menjadi langkah awal seorang mahasiswi teknik sipil Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk menulis novel. Ya, Maria Lovernia Hay biasa dipanggil Ley. Karya tulis pertama yang berhasil ia tulis berjudul “Dari Masinam terbitlah terang”. Artikel pertama ini memperoleh juara harapan satu sekabupaten Manokwari, Papua Barat.

Isi dari karya pertamanya mengenai masuknya injil di Daerah Masinam yaitu salah satu tempat di Manokwari. Jauh sebelum ia lahir, di Papua belum mengenal ajaran keagamaan. Masuknya para misionaris mengenalkan mereka pada ajaran agama, sehingga masyarakat papua menjadi tahu tentang hal-hal baik dalam hidup, itu mengapa ia memberi judul Dari Masinam Terbitlah Terang.

Perolehan juara harapan satu tidak membuat penulis novel ini merasa puas. Ketika berada dibangku kuliah, ia mencoba membukukan “curhatan” yang selama ini dituangkan dalam buku hariannya. Ketika ditanya siapa yang menjadi inspirasi dalam novel pertamanya, ia tertawa sambil tersipu malu.

“ ya dari setiap moment yang saya alami, ya sudah ada dibuku harian”, ujar Ley.

Menulis novel bukanlah perkara yang mudah, tidak sedikit rintangan yang ia taklukan. Penggunaan bahasa ketika menulis sebuah novel salah satunya. Ketika ia terbiasa dengan bahasa pergaulan sehari-hari bersama teman-teman dari Papua, dalam merangkai setiap kata menjadi sebuah kalimat sangat sulit baginya. Tetapi hal itu tidak menghentikan langkahnya untuk tetap berkarya menerbitkan sebuah novel. Menonton film, membaca berbagai novel merupakan cara yang ia pilih untuk memperkaya kosakata.

Love Is Prayer judul novel pertama yang dihasilkan oleh Maria Lovernia Hay. Ketika itu menjelang penerbitan ia mengalami kesulitan, tak jarang ia mengalami penolakan dari beberapa penerbit. Ia terus mencari dan terus mencari. Alternatif yang digunakan adalah mencari penerbit dari novel-novel yang sudah beredar di Gramedia. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk bernegosiasi di Kanisius dan memperoleh partner untuk penerbitan.

Cetakan pertamanya langsung dikirimkan ke salah satu toko buku di Manokwari, Papua Barat. Tidak di sangka, novel cetakan pertamanya habis terjual. Terpicu dari novel cetakan pertama, Ley menggarap novel keduanya The Last Letter. Novel kedua ini ia akui sebagai cerita fiktif, berbeda dengan novel pertama yang berisi terkait dengan pengalaman pribadi sang penulis.

Pemilihan kosa kata dan mencari penerbit agar novel yang ia tulis dikenal masyarakat luas adalah tantangan yang tersulit bagi penulis. Pada novel kedua Ley lebih serius untuk mengerjakannya.

“di novel kedua ini saya melibatkan seorang editor secara penuh, kalau yang novel pertama kemarin editor ada tetapi tidak mengedit semuanya” ujar Ley.

Novel keduapun sukses diterbitkan dan terjual laku di pasaran. Ketika ditanya penghasilan yang ia peroleh dari hasil karyanya ia mengatakan, sekarang baru lima ratus ribu perbulan. Tidak hanya novel, Ley juga sedang merencanakan untuk membuat tulisan tentang keindahan alam. Akan tetapi, memang belum jelas nantinya akan berupa majalah atau novel lagi.

Awalnya ia tidak suka membaca ataupun menulis, ia terinspirasi dari sebuah novel yang berjudul “Malaikat Tanpa Sayap”. Novel itu di temukan pada salah satu toko buku ternama. Tebal novel kira-kira dua ratus halaman. Dalam waktu yang singkat, hanya dengan satu hari ia bisa membaca habis novel tersebut. kata-kata yang menarik dan alur cerita yang bagus membuat ia terhanyut dalam kegiatan membacanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline