Lihat ke Halaman Asli

Levianti

Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Belajar Mengasihi

Diperbarui: 21 September 2024   15:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber: sloanwilkins-pinterest)

"Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." (Mat 9:13)

Dari kecil hingga dewasa, orang belajar melakukan yang terbaik sebagai persembahan dirinya untuk Sang Pencipta dalam kehidupan di dunia. Dengan demikian, pikirannya pun membentuk pola dualitas baik-buruk, hitam-putih, dsb., yang condong menganakemaskan satu sisi dan menganaktirikan sisi kebalikannya.

Tanpa sadar, pola pikir dualitas membatasi kemampuan manusia untuk menerima dan berbelas kasih tanpa pilih-pilih. Misalnya, atasan lebih suka dengan bawahan yang nurut daripada yang mengkritisi arahannya; guru lebih ramah kepada murid yang rajin-pandai daripada yang malas-bodoh; hampir semua orang mencari cara untuk sehat-bahagia dan menghindari sakit-derita; atau mensyukuri kenyamanan dan menolak rahmat kejadian yang tidak sesuai harapan.

Tanpa sadar, pola pikir dualitas pun menjadi akar masalah kehidupan pribadi dan sosial manusia. Mari kita simak dua kisah berikut ini.

Kisah pertama. Adalah seorang putri yang mengidolakan kedua orang tua, terutama ayahnya. Meski orang tuanya resmi bercerai di pengadilan ketika putri berusia 9 tahun, namun mereka berdua kembali tinggal serumah (pisah kamar) demi kebaikan putri yang saat itu berusia 12 tahun. Bahkan saat ibunya didiagnosis penyakit yang mematikan waktu putri sudah dewasa, sang ayah setia merawat ibunya sampai ajal. Bagi putri, ayah adalah pria idola tanpa cela.

Sampai setahun setelah ibu meninggal dunia, ayah mengaku diam-diam sudah membina keluarga baru sejak putri dulu beranjak remaja. Putri jadi merasa tertipu dan meragukan ketulusan semua tindakan ayahnya. Meski ia tahu ayah-ibunya resmi bercerai, namun tetap saja ia merasa dikhianati oleh ayahnya.

Emosi sedih-marah-sayang berkecamuk selama bertahun-tahun. Batinnya menjadi medan perang antara keinginan dan ketidaksiapan untuk memaafkan.

Ada momen di mana putri memaksakan diri untuk melakukan silaturahmi. Dilanjutkan momen jujur menjauh dulu dari ayah untuk mengeringkan luka hati. Sampai akhirnya hati putri berhasil menyatakan "Ayah, saya memaafkanmu" secara bulat.

Akan tetapi, ia masih belum bisa leluasa untuk mengucurkan kasih sayangnya kepada keluarga baru ayah. Seperti ada sumbatan saat ia mau menginisiasi kontak. Maka ia memilih pasif merespon saja. Barangkali, ia sedang berproses untuk menumbuhkembangkan keakraban di antara mereka.

Kisah kedua. Adalah seorang ibu yang secara total mendedikasikan hidupnya untuk mengasuh anak. Pada awalnya, ibu merasa puas dan bahagia karena berhasil mengebelakangkan kepentingan pribadi dan mengedepankan pemenuhan kebutuhan sang anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline