Lihat ke Halaman Asli

Levianti

Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Merdeka dari Keinginan Bercerai

Diperbarui: 31 Juli 2023   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Canva: Umnat Seebuaphan's Image

Pada saat jatuh cinta, dan gayung bersambut, kita merasa bahagia. Pasangan serasa jodoh kita.

Demikian juga saat kita dengan bulat bersepakat untuk menikah. Berbagai persiapan kita lakukan dengan antusias, baik perayaan secara lahiriah, seminar pra-nikah 'tuk validasi batiniah, dan aneka upaya persiapan lainnya. Pasangan semakin niscaya menjadi jodoh kita.

Buah-buah cinta pun lahir. Anak pertama terasa tiada dua. Anak kedua melengkapi bahagia. Anak ketiga mekar semakin sempurna. Anak keempat ibarat hadiah istimewa. Tanpa terasa, formasi keluarga tau-tau berubah. Apakah ini tanda bahagia? Atau tanpa sadar, menjadi lilitan yang memenjara?

Yang jelas, perceraian mulai marak, menjadi trending issue, bahkan hal ini pun diangkat oleh Kompasiana sebagai salah satu topik pilihan. Ada udang apakah yang sesungguhnya tersembunyi di balik batu perceraian? Mari kita susuri bersama untuk menemukan jawabannya.

Menurut Loyola (dalam Darminta, 1993), sebagian besar pernikahan didorong oleh hawa nafsu dan kelekatan tidak teratur. Dalam filsafat, hawa nafsu dan kelekatan tidak teratur ini dikenal dengan istilah libido. Libido mengandung 2 unsur, yaitu target dan nafsu (Bunjamin, 2019, dalam Levianti, 2022). 

Hampir semua perilaku manusia, termasuk keputusan dan tindakan menikah, tanpa sadar didorong oleh libidonya. Berdasarkan sifat targetnya, libido dapat dibedakan menjadi 3, yaitu posenandi (nafsu untuk menikmati dan memiliki), dominandi (nafsu untuk berkuasa dan dituruti), serta adorandi (nafsu untuk menjadi baik-suci dan terluhur).

Pribadi yang tanpa sadar dikuasai oleh libido posenandi bisa saja memutuskan untuk menikah karena terdorong oleh keinginan untuk memiliki pasangannya, ingin lebih bahagia, dsb.

Pribadi dengan libido dominandi cenderung menikah untuk dapat mengatur pasangannya, mendobrak keterbatasan ataupun norma tradisional, dsb.

Sementara libido adorandi akan mendorong seseorang untuk menikah dalam rangka memenuhi ajaran kebenaran, meninggikan statusnya, dsb.

Sumber Gambar: viva.co.id; Adaptasi Canva: Levianti

Contoh kasus berikut ini mungkin dapat memperjelas. Adalah sepasang kekasih dewasa yang sudah berpacaran lama dan juga sudah merencanakan pernikahan dalam 2-3 tahun yang akan datang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline