"Menurut Ibu, Winanti itu seperti apa?" ucap Surya merangkul bahu ibunya. Seperti apa bagian mananya toh?" Ibu menjawab dan tersenyum memandang anak lelakinya itu. Sambil menarik kursi, duduk, dan menyeruput kopi, Surya menjawab pertanyaan ibunya, "Ya tampangnya Winanti itu gimana, Bu? Nggak memalukan toh tampangnya kalau aku ajak dia kondangan?"
Ibu mengambilkan beberapa potong pisang rebus ke atas piring kecil lalu diberikan kepada Surya. "Loh, kalau sudah sejauh ini kamu hanya berbicara soal tampang, ya berarti kamu bukan lelaki sejati tetapi kamu seorang lelaki yang jiwanya miskin. Mencintai perempuan bukan hanya pada manfaatnya, tetapi pada martabatnya. Cinta itu bukan hanya perihal dari mata turun ke hati. Pemikiran seperti itu hanya dimiliki oleh lelaki mata keranjang. Kamu sendiri sudah mantap belum dengan Winanti?"
Sambil mengunyah pisang rebus yang empuk dan manis, Surya menatap ibunya dengan sumringah, "Aku yakin, Bu." Sisa kesumringahannya ia alihkan ke arah tanaman kesayangan ibu yang berjejer mengitari kolam ikan kecil di samping ruang makan, tempat ia duduk sekarang.
"Ya, kalau sudah yakin, ibu hanya bisa merestui walaupun rasanya masih ada yang mengganjal di hati ibumu ini."
Surya dikejutkan oleh suara dering ponsel yang dia letakkan di sampingnya. Segera dia menjawab suara lembut di seberang sana. Raut wajah Surya yang tadinya sumringah seketika menjadi muram.
******
"Dia sudah terima teleponmu untuk mengetahui semuanya ini?" Winanti menjawab sambil memegang tangan seorang lelaki yang kulitnya sudah mulai keriput. "Sudah, Mas. Aku tidak tega dengan Surya anakmu dan juga ibunya sebagai mantan istrimu, Mas."
"Lama-lama juga kamu akan terbiasa." Ucap lelaki di sebelah Winanti sambil tersenyum meyakinkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H