Lihat ke Halaman Asli

Anastasia Bernardina

Penyuka Aksara

Dua Sahabat Pantai di Bawah Lembayung Senja

Diperbarui: 22 Juni 2022   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Bingo Naranjo dari Pixabay

Hujan rintik sejak dini hari baru saja reda. Kaki yang bertelanjang meninggalkan jejaknya di atas pasir pantai yang basah. Semakin kakiku berjalan ke ujung bibir pantai ini, semakin hatiku terasa menyatu dengan alam. Sengaja aku menjauh dari perahu-perahu yang dikelilingi nelayan saat menurunkan ikan-ikan hasil tangkapan semalam. Bau amis yang sedikit menyengat seperti sebuah harmoni alam ketika menyatu dengan keringat dan legamnya kulit tubuh para nelayan yang tak berbalut pakaian.

Ku pejamkan mata ini menikmati udara pagi yang masih segar. Terdengar halus deburan ombak seperti lidah-lidah yang melahap batu karang berjejer kokoh laksana penjaga pantai. Kusibakkan anak rambut yang dimainkan oleh angin pantai. Tubuhku mulai merasakan hangatnya sinar mentari yang mulai beringsut jauh menjulang, sejauh kepakan sayap-sayap burung camar. Aku duduk di tepian dengan jari kaki dirayapi air pantai yang datang dan pergi mengikuti arah gelombang.

######

Kala itu, aku masih berseragam putih abu-abu. Teman-teman memanggilku Diana. Datang ke pantai ini saat aku masih bergabung dengan komunitas pecinta pantai dan kelautan. Di mana masih banyak orang-orang yang telinganya tidak peka dengan suara rintihan pantai yang habitatnya dikotori oleh tangan-tangan jahat manusia yang mengunjunginya.

Di sinilah aku bertemu dengannya, lelaki muda seumuran denganku yang membawa seember sampah dan akan dibuangnya di bibir pantai. Miris sekali, pemuda seperti dia harus berbuat sekeji ini terhadap alam ciptaan Tuhan. Dia tidak sadar, mungkin saja suatu saat alam ini akan menumpahkan kemarahannya.

Ketika aku mendekatinya, matanya berkilat tajam penanda bahwa dia tak suka. "Hey, kenapa harus membuang sampah di situ?" Aku sedikit berteriak dan segera memacu langkahku untuk mendekatinya. "Tidak usah campuri urusanku. Hal seperti ini sudah biasa kami lakukan. Kamu ini tahu apa? Orang kota sepertimu juga ke sini kerjanya cuma makan dan berwisata, tanpa peduli sekitarnya. Nggak usah munafiklah!" Tukasnya ketus dengan ekspresi yang datar.

"Bukannya kita bisa memulainya dari sekarang, walaupun usaha kita untuk memelihara pantai ini butuh proses dan waktu yang panjang. Kalau orang asli sini bisa mengedukasi teman-teman di sekitarnya, kami akan jauh lebih mudah juga untuk mengampanyekan gerakan bersih bahari ini."

Dia hanya berlalu tanpa bicara sedikitpun. Aku sedikit mengejarnya, "Hey, aku belum selesai bicara. Kamu sekolah kan? Memangnya kamu nggak diajari gimana caranya peduli alam? Kamu nggak peduli dengan banyaknya ikan yang mati karena keracunan sampah?"

Dia berbalik dengan membentak, "Berisik kamu kaya nenek-nenek! Pergi  dan jangan ganggu aku lagi!"

Tenggorokanku tercekat sesaat dan aku hanya bisa memandang punggungnya yang basah oleh keringat, terlihat dari kaus kumal yang dipakainya pun tampak basah. Kulit tubuhnya yang hitam akibat terjangan sinar matahari tak mengurangi ketampanannya sebagai seorang lelaki yang terlahir di tempat wisata bahari ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline