Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Anas Robbani

Mahasiswa Program Studi Hubungan Masyarakat UPN Veteran Yogyakarta

Nostalgia Lelaki Tua

Diperbarui: 15 Mei 2023   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kesibukan pagi hari di kota itu sudah dimulai. Para pedagang pasar sudah selesai menata dagangannya, wajahnya harap-harap bisa laku banyak hari ini, sembari mengingat berbagai kebutuhan bulan ini yang belum terbeli. Gerombolan pelajar berseragama putih abu-abu memenuhi jalanan pagi itu, namun, tidak lebih banyak dari pemuda pemudi dengan baju bebas yang juga hendak menuntut ilmu, menuju ke sekolah ke kampus, beberapa dengan wajah yang terlihat menyisakan kantuk, mungkin semalam dia habiskan untuk mengerjakan tugas dan laporan-laporan, alih-alih tidur sebagaimana normalnya orang di malam hari, pemandangan yang sangat lazim didapati.

Penjual oleh-oleh dan makanan juga sudah mulai memenuhi kawasan-kawasan rekreasi atau tempat-tempat yang banyak dikunjungi wisatawan. Tak aneh, kota tersebut memang dikenal sebagai daerah yang sering dikunjungi wisatawan, baik di akhir pekan atau hari kerja.

Di tengah-tengah kesibukan semua orang dan riuh rendah di kota itu, seorang Pria Tua kisaran umur 70 tahun berjalan melewati keramaian pagi hari. Kota yang telah ia tinggali sejak kecil dan telah meninggalkan banyak kenangan yang membekas di dalam hati serta ingatannya. 

Mungkin, bukan hanya bagi lelaki tua tersebut, bagi banyak orang lainnya, kota itu juga memiliki arti yang besar dalam kehidupan mereka. Maka, tak kaget lagi apabila begitu mudahnya menemukan berbagai tulisan yang membahas tentang kota itu. Bagi banyak orang, kota ini merupakan sebuah kota yang begitu istimewa, seperti julukan dari kota itu sendiri. Setiap sudut jalannya selalu dipenuhi orang-orang dengan tawa di bibirnya, meskipun tidak sedikit pula yang berwajah muram.

Pria Tua tersebut berjalan sambil sesekali menyapa beberapa orang yang dikenalnya, sembari mengingat dan bernostalgia tentang kota kelahirannya itu. Bagaimana masa kecil dia habiskan dengan penuh canda tawa, menuju dewasa bertarung dengan berbagai beban kehidupan, kenangan akan dirinya, anak-anaknya, istrinya, dan semua orang yang pernah menjadi bagian dalam hidupnya, hingga sekarang di penghujung umurnya, sendirian dia masih menjadi bagian dari kota itu.

Sebagian orang hanya merasakan manis dan istimewanya kota itu,  tapi bagi pria tua yang menghabiskan seluruh hidupnya disana, berbagai rasa dalam kehidupan sudah ia rasakan. Terkadang ia tertawa kecil melihat bagaimana orang-orang terlalu berlebihan dalam meromantisasi dan mengistimewakan kota itu Tentu saja yang dipikirkan pria itu bukan hanya anggapan dirinya seorang. Bagi masyarakat lokal, pikiran akan hal tersebut sudah sangat biasa hinggap dalam pikiran.

Dengan memakai celana hitam yang kelihatan lusuh tanda tidak disetrika, ditambah kemeja tua yang penampakannya terlihat tidak lebih baik dari celana yang dikenakannya, pria tua itu berjalan menuju ke sebuah warung sederhana di pojokan pasar. Orang-orang di kota itu biasa menyebut warung seperti itu dengan sebutan angkringan.

"Seperti biasa mas", ucap pria tua itu kepada mas-mas penjaga warung. Tentu saja penjaga warung sudah tahu apa yang diinginkan oleh pria tua itu. Tidak hanya apa yang ia pesan, bahkan, kapan ia biasa datang, berapa lama pria tua itu disana dan apa yang akan dilakukannya di warung itu dia sudah hafal. Hanya ketika Idul fitri saja pria tua itu tidak pergi ke warung, anak-anaknya pulang kampung, itupun hanya berlangsung selama dua hari, selebihnya pria tua itu sudah kembali pada rutinitas pagi harinya. 

Kebiasaan yang dilakukannya tiap pagi itu tidak pernah berubah semenjak 5 tahun lalu ketika istrinya meninggal dunia. Anak-anaknya pergi ke luar kota karena masing-masing sudah berkeluarga. Tinggalah ia sendiri sebatang kara.

Teh panas dan 2 nasi kucing serta beberapa gorengan selalu menjadi menu sarapan pagi pria tua itu. Pada awal-awal dulu ia masih harus sering menegur mas-mas penjaga warung, karena teh yang dibuatkan untuknya hangat. Alih-alih panas, seperti apa yang pria tua tersebut inginkan. 

Seperti kebiasaan-kebiasaan dia juga setiap harinya. Setelah makan, pria tua itu mengeluarkan bungkus kretek dan korek api dari saku kemejanya. Membakarnya satu batang, kemudian menghisapnya dalam-dalam dengan penuh penghayatan dan kenikmatan. Seakan-akan hisapan itu mampu menambah rasa pada pagi harinya. Atau mungkin bisa membuat dia kembali mengingat momen-momen bersama istri dan anaknya ataupun hal lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline