Slametan merupakan tradisi ritual yang dipraktikkan oleh masyarakat Jawa sejak lama yang dan mengandung makna yang sangat mendalam juga terdapat nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-menurun. Di tengah gempuran era modernisasi, budaya Slametan masih kokoh bertahan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Tradisi yang menjadi bukti eksistensi kekayaan budaya Jawa yang wajib untuk dilestarikan.
Sejarah dan Makna Budaya Slametan
Slametan berasal dari kata "selamat", yang memiliki makna rasa syukur dan pengharapan atas keselamatan. Tradisi ini sudah dipraktikkan sejak lama oleh masyarakat Jawa, yang dipercaya sebagai warisan dari leluhur yang sudah turun-menurun. Tidak hanya sekedar ritual makan bersama, Slametan memiliki makna yang lebih mendalam. Berikut beberapa poin pentingnya:
Ungkapan Syukur: Slametan menjadi wadah untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat dan keberkahan yang sudah diterima.
Memperkuat Silaturahmi: Tradisi ini dapat mempererat tali persaudaraan dan memperkuat rasa gotong royong antar warga.
Memohon Doa dan Berkah: Doa bersama dipanjatkan untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan kelancaran dalam menjalani kehidupan.
Pelestarian Budaya: Slametan menjadi sarana untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya Jawa, seperti menghormati leluhur dan menjunjung tinggi nilai kebersamaan.
Kokohnya budaya slametan di era modern ini tidak luput dari sikap peduli berbagai pihak, baik individu maupun kelompok untuk tetap melestarikan budaya slametan. Berikut beberapa tokoh yang berperan penting dalam pelestarian budaya slametan:
1. Tokoh Budaya dan Adat
Ki Ageng Pengging: Tokoh pendiri Kesultanan Demak yang dikenal dengan ajarannya mengenai "Sangkan Paran" dan "Manunggaling Kawula Gusti", nilai-nilai yang sejalan dengan makna slametan.
Ki Hajar Dewantara: Tokoh pendidikan dan pendiri Taman Siswa yang menekankan pentingnya melestarikan budaya lokal, termasuk tradisi Slametan.