Lihat ke Halaman Asli

Ana Sopanah

Dosen Universitas Widyagama Malang

Menembus Gunung Bromo (1): Melihat Sunrise yang Menakjubkan

Diperbarui: 21 Juli 2016   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berpose di Puncak Pananjakan (koleksi pribadi)

Rona wajah yang memerah, kain sarung yang selalu dililitkan dilehernya, serta kupluk yang menjadi penutup kepala merupakan ciri khas Suku Tengger yang merupakan hasil adaptasi dari suhu gunung bromo yang begitu dingin. Siapakah Suku Tengger? Suku Tengger adalah suku yang tinggal di Gunung Bromo Jawa Timur yang merupakan Gunung berapi yang sampai saat ini masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur. 

Dengan ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut itu berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi. Gunung Bromo juga merupakan gunung yang suci, Bagi penduduk Bromo, Suku Tengger, Gunung Brahma dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. 

Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.

Bagaimana perjalanan menembus Gunung Bromo? Perjalanan dapat ditembuh melalui 4 rute yaitu Cemoro Lawang Desa Ngadisari Kabupaten Probolinggo, Nongkojajar Desa Wonokitri Kabupaten Pasuruan, Desa Ngadas Kabupaten Malang, dan Desa Ranupani Kabupaten Lumajang. Saya akan bercerita tentang saya menembus Gunung Bromo ketika menyelesaikan Disiertasi saya yang menggambil tema tentang Proses Penganggaran Yang Berbasis Nilai Kearifan Lokal. 

Karena nilai kearifan lokal yang mau diangkat adalah suku tengger, maka saya harus mengetahui kehidupan masyarakat Suku Tengger, mengenal asal usul Suku Tengger, sistem kemasyarakatan, pemerintahan dan kepercayaan adat serta agama masyarakat Suku Tenger, dan menggali nilai kearifan lokal yang ada di Suku Tengger.

Mengawali perjalanan menuju ke Gunung Bromo pertama kali dilakukan pada tanggal 6 Januari 2010 melewati rute Porwodadi Kabupaten Pasuruan dengan menembus beberapa desa dan pegunungan diantaranya Desa Cowek, Lebakrejo, Dawuhansengon, Kecamatan Nongkojajar. Naik keatas lagi melintasi desa-desa ditepi pegunungan dan keluar masuk hutan serta tepian sawah diantaranya Desa Sumberpintu, Kalipucang yang masuk di Kecamatan Tutur disuguhi pemandangan indah alami dan suhu yang sangat dingin. 

Setelah melewati Desa Wonosari dan Kandangan serta desa-desa lainnya yang selalu di selimuti kabut di siang hari, tepat di batas desa dan pintu masuk Desa Ngadiwono pertama kali di temukan beberapa situs sebagai penanda kepercayaan masyarakat setempat diantaranya ada sesaji, dupa di pura kecil sebagai persembahyangan yang di balut kain berwarna hitam putih yang dinamakan Kamen atau Saput. Di beberapa pohon besar di pinggir jalan serta di tikungan juga di temukan sesaji. 

Selama dalam perjalanan di Desa Ngadiwono setidaknya bersimpangan dengan beberapa orang di jalan yang mengkalungkan kain sarung sebagai penanda khas bahwa orang tersebut adalah Suku Tengger. Terlihat pula dari kejauhan beberapa orang sedang menjalankan aktifitasnya seperti bercocok tanam di ladang atau sawah dan adapula yang

View Bromo dari Pananjakan (Koleksi Priabdi)

Tepat di Desa Ngadiwono, tempat dan orang pertama yang penulis cari adalah balai desa dan Petinggi (Kepala Desa) Ngadiwono dan secara kebetulan beberapa perangkat desa serta Petinggi Desa sedang berkumpul karena sedang melaksanakan rapat membahas PNPM Mandiri Pedesaan. Pak Inggi (Sebutan untuk Kepala Desa) dengan sangat ramah, menerima kedatangan penulis dan meminta untuk memperkenalkan diri serta menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan ke Desa Ngadiwono. 

Akhirnya, penulis ikut terlibat dalam rapat PNPM Mandiri pedesaan yang difasilitasi oleh fasilitator kecamatan yang membahas tentang pembangunan di Desa Ngadiwono. Sikap ramah dan terbuka yang diperlihatkan oleh Petinggi, mencerminkan bahwa masyarakat Tengger hidup dalam keterbukaan dan menghargai orang lain meskipun pendatang baru.

Setelah selesai mengikuti kegiatan rapat di Balai Desa Ngadiwono penulis melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Bromo dengan melewati Desa Podokoyo 1, Kecamatan Tosari, Desa Podokoyo 2 dan sampailah di Desa Wonokitri. Desa Wonokitri adalah desa yang paling pucuk dan terakhir  yang ada di lereng pegunungan penanjakan. Di Tepi desa inilah dapat dilihat panorama yang paling eksotik dan mengagumkan, antara lain dapat dilihat matahari terbit serta terlihat Gunung Bromo, Gunung Semeru yang selalu mengeluarkan asap yang mengepul dan menjulang tinggi ke angkasa. 

Di Penanjakan inilah juga dapat melihat luasnya lautan pasir, sebagian Padang Safana serta gunung Batok. yang bersebelahan dengan Gunung Bromo. Selain bertemu dengan wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara juga dapat bertemu dengan masyarakat Suku Tengger di penanjakan yang rata-rata mereka berprofesi sebagai pemandu wisata. Dari sinilah peneliti mulai mendapatkan cerita dan gambaran tentang kehidupan Suku Tengger di Wonokitri dari sisi barat Gunung Bromo yang secara adminstratif masuk di wilayah Kabupaten

Menikmati Sunrise dari Pananjakan

Desa Wonokitri adalah salah satu desa di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan yang terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan merupakan desa sebagai tempat tinggal komunitas Suku Tengger. Desa Wisata Budaya dengan obyek wisata budaya potensial berupa budaya, pola kehidupan sosial budaya masyarakat, serta adat-istiadat Suku Tengger. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline