Lihat ke Halaman Asli

Ana Setiyani

Penikmat waktu

Masih tentang Natuna dari Perspektif Rakyat Biasa

Diperbarui: 10 Januari 2020   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures


Ketika mendengar kata Natuna, tidak tahu kenapa otak langsung mengingat nama Bu Susi. Tragedi tenggelam dan diledakkan sempat ramai disana. 

Pada masa itu setiap kali berita dan artikel yang membahasnya hanya selalu terbaca judulnya, lewat begitu saja Hati ini belum tergerak untuk mencari tahu ada apa sebenarnya di Natuna. 

Hingga beberapa waktu lalu, ketika Bu Susi sudah berganti dengan Pak Edi, kabar tentang Natuna kembali lagi bergema. Kali ini barulah rasa penasaran muncul. Kucoba telisik darimana asal mulanya. 

Ternyata oh ternyata, kisah ini bukan hanya dialami oleh Indonesia dan sudah lama. Jika merunut ke sejarahnya. Pengakuan akan adanya Laut China Selatan terhitung sejak tahun 1947. Beberapa negara di Asia Tenggara pun juga menjadi "korban" atas perilaku China yang bisa dikatakan se-enaknya. 

Philipina adalah salah satu dari beberapa negara yang bersinggungan dengan garis abstrak Laut China Selatan. Perjuangan melawan akuan China atas wilayah Laut Philipina pun telah dibawa hingga pengadilan Internasional.

 Hasilnya pun memang Philipina yang berhak secara hukum Internasional atas wilayah tersebut. Garis batas Laut China Selatan tidak lebih dari sejarah yang diturunkan dari nenek moyang. 

Semenjak adanya hukum Internasional, itulah yang harus disepakati dan ditegakkan bersama. Apalagi China juga termasuk anggota di dalam perserikatan Internasional tersebut. 

Sudah menang melawan China, tenang dong seharusnya. Namun tidak pada kenyataannya. China tetap bersikeras bahwa memiliki hak atas sebagian wilayah laut Philipina. 

Tak tanggung-tanggung China menurunkan kapal-kapalnya untuk berjaga agar penduduk Philipina tidak mendekat. Lebih parahnya, mereka membangun pulau dan menempatkan orang di pulau tersebut. 

Di tengah kekayaan alam wilayah "9 dash line" itu, China tidak mau kehilangan begitu saja. Dengan limpahan materi dan kekuatan militer yang dimiliki, China semakin percaya diri. 

Kembali ke Indonesia. Sebagai penduduk yang hanya mampu berdo'a demi keselamatan bangsa dan negara, mendengar cerita Natuna beberapa waktu terakhir sedikit menggugah hati dan pikiran saya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline