Lihat ke Halaman Asli

Menengok Pelayanan Publik Pemda di Australia

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lengang. Padahal hari itu hari senin. Hanya terlihat dua orang yang datang. Mereka pun langsung menuju dua loket yang tersedia dan bercakap-cakap dengan petugas. Entah apa yang di bicarakan.

Pagi itu saya mengajak Amira dan Ayla mengembalikan buku yang kami pinjam dari perpustakaan umum tiga minggu lalu. Sebelum naik ke perpustakaan di lantai dua saya sempatkan menyapu pandangan pada ruangan yang hanya berukuran tak lebih 100m2 itu. Hanya terlihat satu set sofa, beberapa brosur yang diletakkan di rak tempel tiang penyangga gedung, dua loket pelayanan, pintu masuk menuju art gallery dan tangga yang menghubungkan dengan perpustakaan.

Tiga bulan lalu suasana yang sama juga saya temukan.  Saat itu saya hendak memasukkan dokumen pendaftaran sekolah Ayla di Moreland Kindergarten. Bisa saja saya kirim dokumen via post. Hanya saja karena jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, kebetulan saya juga mau ke kampus, saya sempatkan untuk singgah. Sekaligus, memuaskan rasa ingin tahu bagaimana pelayanan publik Morelan City Council. Saat memasukkan dokumen petugas hanya mengatakan bahwa saya diminta untuk menunggu hasilnya. Setelah beberapa minggu saya pun mendapatkan informasi bahwa Ayla mendapat tempat di Kindergarten yang saya harapkan. Pemberitahuan ini disampaikan melalui surat pos. Demikian seterusnya, informasi-informasi terkait dengan syarat-syarat dokumen  yang harus dilengkapi dan detil biaya yang harus dibayar disampaikan melalui surat.

Moreland City Council adalah salah satu diantara 78 pemda di Victoria. Jumlah penduduk Moreland berdasarkan situs pemerintah setempat sebanyak 147.244 jiwa. Jumlah ini sama dengan banyak penduduk di beberapa kecamatan di Kota Makassar atau Kota Surabaya. Secara demografi penduduk Moreland berasal dari berbagai ragam suku bangsa. Tak heran kalau dari seluruh jumlah penduduk hanya 55,2% yang menggunakan bahasa Inggris di rumah. Yang lainnya menggunakan bahasa negara asal, termasuk saya yang selalu berbahasa Indonesia di rumah.

Namun, apakah jumlah penduduk yang hanya setara dengan satu kecamatan tersebut yang membuat ruang pelayanan publik sepi? Tentu saja tidak. Sepinya masyarakat yang datang karena kantor pemerintah sudah dipindahkan ke rumah-rumah. Ups...maksudnya begini, kemudahan yang disediakan pemerintah dalam mengurus barbagai hal membuat masyarakat tak perlu bersusah payah mendatangi kantor pemerintah. Cukup menatap layar komputer semua urusan bisa diselesaikan. Ya, penerapan e-government di negeri ini tidak hanya sebatas membangun website. Pelayanan publik di sini sudah bersifat interaktif yang tidak hanya sebatas komunikasi tanya-jawab. Namun, sudah pada tahap kemudahan akses layanan.

Kalau kita melihat ke negeri sendiri, kecamatan-kecamatan selalu ramai di datangi masyarakat. Dari mengurus KTP hingga berbagai macam surat pengantar yang harus diurus di kecamatan, termasuk pindah dan catatan kepolisian. Saat diberlakukannya e-KTP antrian berjubel dan harus disediakan berderet kursi untuk  mengatasi antrian. Kita pun sering mengeluhkan adanya pengeluaran-pengeluaran tidak resmi saat mengurus dokumen-dokumen meski hanya secarik tanda tangan sang camat. Di tingkat kelurahan juga tak jauh berbeda. Menurun lagi di tingkat RW/RT juga sering menetapkan ‘sumbangan’ tak resmi.

Dengan melihat penerapannya di Australia bisa dibayangkan berapa biaya yang bisa di hemat. Dari sisi efisiensi waktu masyarakat tak perlu menghabiskannya untuk menuju kantor pemerintah dan menunggu antrian. Paling tidak masyarakat juga tidak harus meninggalkan pekerjaannya hanya untuk mengurus selembar dokumen. Tentu hal ini juga setali tiga uang dengan penghematan biaya transportasi, mengurangi kemacetan, dan mengurangi jumlah PNS yang harus melakukan pelayanan. Belum lagi pemerintah juga tidak perlu membangun ruang tunggu yang luas untuk menampung pemohon. Plus, dengan pemrosesan secara online kepastian biaya pelayanan juga dijamin.

Indonesia sebenarnya juga bercita-cita untuk memiliki layanan sebagaimana yang ada di negara maju. Inisiatif untuk membangun e-government yang matang sudah dituangkan dalam Inpres nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Hmmm...sudah sepuluh tahun yang lalu. Pemerintah menyadari bahwa penerapan E-Government akan meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.

Kebijakan dan strategi nasional tersebut menyebutkan adanya tahapan-tahapan dalam pengembangan e-government. Tahapan tersebut adalah:

·Tahap persiapan yang meliputi pembuatan situs informasi di setiap lembaga, penyiapan SDM, penyiapan sarana akses yang mudah dan sosialisasi situs.

·Tahap pematangan meliputi pembuatan situs informasi publik yang interaktif dan pembuatan antarmuka keterhubungan dengan lembaga lain

·Tahap Pemantapan meliputi pembuatan situs transaksi pelayanan publik, pembuatan interoperabilitas aplikasi maupun data dengan lembaga lain.

·Tahap Pemanfaatan yang meliputi pembuatan aplikasi untuk pelayanan G2G, G2B dan G2C yang terintegrasi.

Sampai sejauh manakah penerapan e-government di Indonesia? Hampir seluruh pemda dan instansi pemerintah pusat sudah memiliki website. Dari tampilannya semuanya terlihat menarik. Berbagai informasi tentang pembangunan daerah saat ini bisa di akses melalui web pemerintah. Termasuk program dan kegiatan kepala daerah. Beberapa daerah sudah berani lebih maju dengan mengunggah APBD secara lengkap untuk tiap SKPD. Informasi-informasi tentang pelayanan juga sudah mulai bisa dilihat melalui website pemda.

Hal ini tentu satu kemajuan yang layak di apresiasi. Hanya saja untuk menuju tahap pemantapan dimana pelayanan publik bisa dilakukan secara online memang membutuhkan sumber daya dan komitmen yang tinggi. Membangun database dan aplikasi yang mantap tentu membutuhkan alokasi anggaran yang besar. Di sisi lain masih banyak prioritas lain yang sepertinya lebih urgen. Belum lagi masalah komitmen yang kurang karena implikasi penerapan online government adalah kesediaan untuk lebih transparan dan lebih berakuntabilitas.

Di sisi lain, jika kita melihat Grand Design Reformasi Birokrasi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 maka penyediaan layanan online adalah hal yang mutlak harus dilaksanakan. Penyediaan layanan online adalah bagian dari implikasi pembenahan tatalaksana yang merupakan bagian dari delapan area perubahan yang dituju. Grand Design Reformasi Birokrasi diharapkan dapat mencapai hasil dengan tidak adanya korupsi, tidak da pelanggaran dan perizinan selesai dengan cepat dan tepat. Hal ini tercermin dari meningkatnya Indeks Integritas Pelayanan Publik, Peringkat Indeks Kemudahan Berusaha, Indeks Efektifitas Pemerintahan, dan nilai hasil evaluasi atas akuntabilitas kinerja pemerintah. Smoga kita bisa....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline