Lihat ke Halaman Asli

Yuk Studi Banding ke Youtube..

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rupanya tulisan seri walfare state episode Robert Kiyosaki lalu cukup menarik banyak pembaca setelah saya posting di kompasiana. Beragam komentar saya dapatkan. Tulisan tersebut sebenarnya hanya ingin menjelaskan konsep welfare state dengan menggunakan sudut pandang penyusunan kebijakan publik. Hanya saja benar kata sahabat saya. Robert Kiyosaki terlalu menarik untuk sekedar dijadikan prolog atau ilustrasi. Alhasil banyak komentar yang mengarah pada sisi bisnis dan non bisnis. Komentar tentang kebijakan pemerintah justru kurang.

Komentar-komentar tersebut juga menunjukkan banyak yang tidak sepakat dengan gagasan Kiyosaki. Satu komentar yang sangat menggelitik: kalau Kiyosaki hidup di Indonesia belum tentu ia bisa menjadi seperti saat ini. Lucu tapibenar juga. Ketika orang Indonesia hebat maka dia adalah orang yang benar-benar hebat. Tantangan hidup di negeri kita jauh lebih berat dibanding di Amerika dan negara maju lainnya. Sama halnya dengan kesimpulan saya dulu. Menjadi orang baik dan jujur di Indonesia bisa jadi sama sulitnya menjadi orang jahat di negara maju..

Apapun, tulisan dan komentar tersebut setidaknya memaksa saya untuk blusukan ke negara-negara penganut welfare state. Alhasil, saya pun tersesat di Finlandia, Denmark, Swedia dan Norwegia. Negara-negara ini termasuk dalam Nordic countries. Model penerapan welfare state-nya pun disebut nordic model.

Hanya saja kali ini saya tidak membahas model walfare state nordic model, tapi lebih kepada cerita keblasuk-blasuk di Eropa. Smoga suatu saat kelak, saya benar-benar merasakannya di dunia nyata.

Topik welfare state memang menarik dikaji untuk melihat mengapa sih Indonesia tidak maju-maju. Atau, kenapa sih negara yang tergabung dalam OECD hebat-hebat sementara dari sisi sumber daya alam minim. Begitulah, akhirnya saya putuskan untuk mengetikkan welfare state. Awalnya, saya ketikkan dua kata itu di google. Nemu lah di wiki dan saya coba masuk akses ke e-library kampus. Mumet cenut-cenut rasanya. Sebenarnya menarik untuk dibaca. Hanya saja butuh waktu untuk mencerna dari bahasa inggris, ke bahasa indonesia dan dialihkan ke bahasa jawa. Hihihi...lebay.

Akhirnya, saya coba ketikan di You Tube. Aha...rupanya banyak sekali video yang menjelaskan tentang welfare state. Saya pun mencoba mengkombinasikan dengan berbagai kata setelah menemukan bahwa negara-negara Eropa bagian utara justru lebih banyak alokasi anggarannya untuk kesejahteraan. Dapatlah satu video the nordic model. Klo anda tertarik silakan klik link ini https://www.youtube.com/watch?v=NvREjP9Pi10. Video yang sangat inspiratif yang menunjukkan bagaimana hebatnya Finlandia, Swedia dan Denmark yang tidak hanya maju di bidang ekonomi, tapi juga pendidikannya menjadi rujukan. Dalam survey PISA lalu negara2 ini menempati posisi di papan atas. Nordic countries ini juga masuk dalam jajaran 11 negara yang paling rendah tingkat korupsinya.

Lagi-lagi,maaf, bukan video ini yang ingin saya ceritakan. Saya mencoba lagi mengetikkan Finland and Education. Entah kapan saya pernah membaca bahwa finlandia adalah negara terbaik sistem pendidikannya. Hohoi....lengkap. Anda akan mendapatkan cerita dari berbagai video yang menayangkan bagaimana sistem pendidikan Finlandia. Sayapun terlena dan tenggelam menikmati video-video yang membahas bagaimana reformasi pendidikan.

Beberapa minggu lalu saat saya menulis tentang lean management juga begitu. Meski saya bisa mendapatkan artikel-artikel dari berbagai jurnal internasional, saya mencoba menengok you tube terlebih dahulu. Selain memberikan memberikan pemahaman umum terlebih dahulu, juga memudahkan memahami istilah-istilah yang digunakan. Lagi-lagi, saya mendapatkan banyak hal. Dari rekaman dosen hingga animasi dan slide yang tayang beberapa menit. Saya coba mengetikkan berbagai hal, public sector reform, high performing organisation, performance management dan beberapa kata kunci yang terkait dengan manajemen sektor publik. Lengkap...kap. Tinggal menyimak.

Saya teringat kembali dengan Hermawan Kertajawa dalam buku New Wave Marketing, bahwa di era web 2.0 si miskin dan si kaya mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses. Asal, ia mempunyai akses internet. Dalam pembahasan mengenai Balanced-Scorecard yang lalu sempat saya singgung empat aspek balanced-scorecard. Yaitu, Financial, Customer, Internal Business Process, dan Learning and Growth.

Sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya, learning and growth adalah bagaimana sebuah organisasi menjadi organisasi pembelajar yang mendukung pegawai untuk melakukan inovasi. Dalam konteks instansi pemerintah, SDM inilah yang akan berperan dalam perbaikan kualitas layanan, termasuk menciptakan sistem informasi dan SOP yang handal, efisien dan efektif. Alhasil, jika ini dilaksanakan program dan kegiatan yang dilaksanakan dapat memberi manfaat yang maksimal untuk masyarakat.

Di instansi APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah), BPKP dan inspektorat daerah, upaya peningkatan kualitas auditor tidak hanya dilakukan melalui diklat. In house training atau disebut juga Pelatihan Kantor Sendiri (PKS) sering dilaksanakan. PKS ini hampir sama dengan diklat hanya saja penyaji atau pemateri dari kalangan internal. Topik bahasan terkait dengan penugasan yang dilaksanakan. Pelaksanaan PKS ini sangat penting bagi para fungsional karena dikaitkan dengan angka kredit yang merupakan komponen penilaian kenaikan pangkat. Sehingga, dalam pelaksanaanya cukup banyak peminat.

Saya sendiri tidak tau apakah instansi non APIP sudah menyelenggarakan PKS. Idealnya di lingkup pemda pola PKS ini dikembangkan untuk dilaksanakan di seluruh SKPD. Sebagai pegawai yang juga bagian dari APIP saya sangat merasakan manfaatnya. Hanya saja mungkin pola PKS harus dikembangkan tidak hanya sebatas pada masalah-masalah teknis. Termasuk pengembangan diri dan pembahasan manajemen-manajemen kontemporer yang banyak dipraktekkan oleh negara-negara maju. Caranya, tinggal mengunduh dari you tube dan didiskusikan bersama dalam. Mudah bukan?

Senada dengan ide Hermawan Kertajaya, era web 2.0 tidak hanya memberikan kesempatan untuk sukses yang sama bagi si miskin dan si kaya secara individu. Hal ini juga berlaku dalam konteks negara. Negara-negara berkembang dengan alokasi SDM rendah sebenarnya bisa mendapatkan manfaat maksimal dari internet.

Bayangkan, kalau video-video yang saya sebutkan di atas dijadikan sebagai bahan diskusi di instansi pemerintah. Bayangkan jika guru-guru dan para pengambil kebijakan menonton video tersebut dan membedah sistem pendidikan di negara-negara maju. Bayangkan jika anggota DPR(D) cukup menyimak dari you tube dan tak perlu studi banding.

Dari you tube saja kita bisa mendapatkan best practice kebijakan publik negara maju yang bisa kita ‘curi’. Sayangnya, sepertinya kita lebih banyak mencuri waktu untuk fesbukan, termasuk penulis..hihihi. Jadi, kapan negara ini bisa sukses ya....

Simak juga

http://birokrasi.kompasiana.com/2014/02/11/inilah-strategi-australia-atasi-kesenjangan-sosial-kiyosaki-2-631087.html

http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2014/01/29/belajar-kegagalan-venezuela-dan-keberhasilan-singapura-628096.html

http://birokrasi.kompasiana.com/2014/01/14/membebaskan-pemerintah-dari-junk-food-624500.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline