Lihat ke Halaman Asli

Kasus Lahan PKS Abdya, Menguji Kewenangan BPK vs BPKP

Diperbarui: 12 September 2015   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dugaan Kriminalisasi terhadap mantan Bupati Aceh Barat Daya, Akmal Ibrahim, dalam kasus Pengadaan Lahan untuk Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Desa Lhok Gayo Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) semakin jelas terlihat. Kasus yang banyak mendapatkan perhatian publik tersebut selalu menarik untuk kita kaji dan analisa, baik secara pandangan politik maupun dari segi hukum. Secara pandangan politik, kuat dugaan bahwa kasus lahan PKS Abdya erat kaitannya dengan kepentingan pihak tertentu dalam persiapan Pilkada pada 2017 nanti. Pendapat berbagai pengamat dan opini yang berkembang di masyarakat mengindikasikan dengan jelas bahwa ada motif 'politik' dalam penetapan Akmal Ibrahim sebagai tersangka.

Sedangkan dari perspektif hukum, perbedaan hasil audit antara BPK RI dan BPKP terkait Pengadaan Lahan PKS Abdya akan menjadi benang merah untuk mengungkapkan bahwa ada skenario yang dimainkan pihak tertentu untuk memaksakan Akmal Ibrahim dijerat dengan tuduhan korupsi.

Seperti dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat sidang perdana di PN Tipikor Banda Aceh pada 6 Juli 2015, Kasus Pengadaan Lahan PKS Abdya diduga merugikan negara senilai Rp. 764.388.300,-(tujuh ratus enam puluh empat juta tiga ratus delapan puluh ribu tiga ratus rupiah). Hasil kerugian negara ini didapatkan penyidik berdasarkan Laporan Hasil Audit BPKP Provinsi Aceh atas perhitungan kerugian keuangan negara nomor :SR-2195/PW.01/5/2013 tanggal 01 Nopember 2013. Anehnya, hasil audit BPKP ini berbeda jauh dengan hasil audit dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang menyatakan bahwa TIDAK ditemukan kerugian negara dalam pengadaan Tanah untuk PKS Abdya, BPK hanya merekomendasikan Pemkab Abdya segera melakukan sertipikasi untuk tanah yang belum memiliki sertipikat di lokasi PKS tersebut. 

Hal yang menarik untuk kita kaji adalah keberadaan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) sebagai lembaga audit kerugian negara yang dijadikan dasar penyidik untuk menetapkan seseorang jadi tersangka. Apakah BPKP secara konstitusi memiliki kewenangan dalam melakukan audit kerugian negara dalam kasus korupsi ? Kemudian bagaimana kedudukan BPK sebagai lembaga audit  negara ? 

Kedudukan BPKP, serta tugas dan wewenangnya

BPKP yang disingkat dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan berdiri berdasarkan Keputusan Presiden RI No: 31 Tahun 1983. Pada Bab I kedudukan, tugas, dan fungsinya, pasal 3 huruf n; menyatakan “Melakukan pemeriksaan khusus terhadap kasus-kasus tidak lancarnya pelaksanaan pembangunan dan kasus-kasus yang diperkirakan mengandung penyimpangan yang merugikan pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Bab III tata kerja pada pasal 44 apabila dari hasil pemeriksaan diperkirakan terdapat unsur tindak pidana korupsi, kepala BPKP melaporkannya kepada Kejaksaan Agung. Berdasarkan Keppres tersebut, sangat besar sekali peran BPKP tidak hanya sebagai pengawas saja namun berwenang untuk melakukan audit investigasi dan menilai/menetapkan kerugian negara.

Namun sejalan waktu, pecahnya reformasi di Tanah Air, landasan hukum yang mengatur tentang BPKP tersebut telah mengalami perubahan, dan terbitlah Keppres No.103 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja lembaga Pemerintah non Departemen termasuklah BPKP di dalamnya. Kewenangan BPKP sebagai pemeriksa sudah tidak ada lagi semenjak diterbitkannya Keppres No. 103 Th 2001. Hal ini dipertegas di dalam surat keputusan Mahkamah Konstitusi No:31/PUU-X/2012 tertanggal 23 Oktober 2012. Di dalam putusan MK tersebut Bagian II kedudukan hukum (legal standing) nomor/butir 16 Hal 9 menyatakan; bahwa sesungguhnya kewenangan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan perhitungan kerugian Negara telah dicabut oleh Keppres Nomor:103Tahun 2001. Perundang-undanganyang mengatur tentang tugas dan wewenang BPKP dipertegas lagi dengan diterbitkannyaPeraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang sistem pengendali intern pemerintah pasal 47, pasal 48, pasal 49 dan dalam pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) dengan tegas dinyatakan BPKP adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang tidak berwenang melakukan audit atas pengelolaan keuangan Negara.

Kedudukan BPK, serta tugas dan wewenangnya

BPK adalah singkatan dari Badan Pemeriksaan Keuangan yang merupakan bagian dari sistem ketatanegaraan RI yang berbeda peran, ada yang berperan sebagai eksekutif, ada yang berperan sebagai legislatif, dan BPK sendiri diperankan sebagai pemeriksa. Eksistensi BPK secara konstitusional dijamin secara sah oleh UUD 1945, Pasal 23E ayat (1) menyatakan “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan Negara diadakan satu badan pemeriksaan keuangan yang bebas dan mandiri”. Artinya badan yang berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara adalah BPK yang bebas dan mandiri.

Kemudian ketentuan konstitusi ini dinormativisasi kedalam berbagai peraturan perundang-undangan, yakni : Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tetang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No.15 tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, Undang-Undang No.15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.

Bahwa menurut UU No.15 Tahun 2006, Pasal 1 angka 1 menyatakan “BPK adalah lembaga Negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945”. Kemudian pernyataan ini dipertegas kembali pada pasal 6 ayat (1) dinyatakan “ BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lainnya, Bank Indonesia, BUMN, BLU, BUMD dan Lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Akhirnya pasal 10 ayat (1) menyatakan “BPK berwenang menilai dan/atau menetapkan kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh Bendahara, Pengelolaan BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai perbedaan antara BPKP dan BPK, sudah jelas dan nyata berbeda kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangannya. Secara konstitusi, BPK adalah lembaga yang berwenang melakukan audit terhadap kerugian negara. Sedangkan BPKP adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang tidak berwenang melakukan audit atas pengelolaan keuangan Negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline